Pernah kepikiran nggak, kenapa ada orang yang followers-nya cuma 100 tapi tawaran kerjaannya kayak nggak habis-habis? Sementara yang followers 1.000, isinya cuma repost doang? Nah, mungkin jawabannya satu: personal branding.Â
Kalau dijelaskan pakai bahasa yang gak ribet, personal branding itu soal bagaimana kamu ingin dikenal orang lain. Bukan soal pencitraan, tapi soal penegasan jati diri di depan publik---baik secara digital maupun nyata.
Mau kamu introvert, tukang ngopi, anak desain, penulis puisi, gamer, atau guru ngaji---semua orang sebenarnya sudah punya brand. Tapi masalahnya, kita sering gak sadar dan gak sengaja ngebentuknya.
Dan lucunya, banyak yang bilang gak peduli image tapi tetep insecure kalau nggak ada yang notice. Kontradiktif banget, kan?
Jujur aja, sekarang jejak digital itu CV kedua. Kadang malah yang pertama. Rekruter ngecek LinkedIn, klien ngintip IG kamu, teman kampus kepo Twitter kamu. Dan itu semua bisa ngasih gambaran: kamu tuh siapa, kamu bisa apa, kamu bisa dipercaya gak?
Personal branding itu bukan soal pengen dipuji, tapi biar pesanmu sampai. Jangan sampai kamu jago ngedit video, tapi orang-orang tahunya kamu cuma suka repost meme. Atau kamu pinter nulis, tapi gak pernah nunjukin karena ngerasa "takut dibilang sok pamer".
Kalau ngerasa belum siap, percayalah, siap itu datangnya setelah jalan, bukan sebelum. Mulai dari tempat yang kamu pegang tiap hari: Instagram, TikTok, LinkedIn, bahkan Threads (kalau kamu masih rajin buka).
Tapi bukan berarti harus "narsis digital". Mulai dari hal kecil kayak bio yang jelas, posting konten yang kamu suka, atau sekadar sharing proses belajar. Gak perlu nunggu estetika 10/10. Yang penting, otentik dan konsisten.
Nah, personal branding itu penting buat:
- Mahasiswa yang mau dapet beasiswa atau magang
- Freelancer yang cari klien
- UMKM yang jual produk
- Aktivis yang bawa isu sosial
Bahkan karyawan biasa pun butuh personal branding biar kariernya bisa naik level, bukan stuck di posisi yang sama bertahun-tahun.