Mohon tunggu...
Vinsensius SFil MM
Vinsensius SFil MM Mohon Tunggu... Dosen

Suka membaca dan menulis yang bermanfaat bagi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Serba-serbi Penjurusan di SMA Ditinjau secara Filosofis

20 April 2025   22:05 Diperbarui: 20 April 2025   22:12 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana perkuliahan (dokpri)

Di Indonesia, siswa SMA biasanya sudah langsung "dijuruskan" saat mereka duduk di kelas 10. Ada yang masuk IPA, ada yang ke IPS, dan sebagian kecil memilih Bahasa. Sejak awal, jalur ini seperti sudah ditentukan, entah oleh nilai rapor, pilihan orang tua, atau saran guru BK. Tapi pertanyaannya: "Apakah anak usia 15 tahun benar-benar sudah tahu apa yang ia inginkan dalam hidupnya?"

Beberapa tahun belakangan ini, muncul pendekatan baru dalam sistem pendidikan kita: "penjurusan kembali". Dalam model ini, siswa tidak langsung masuk jurusan saat awal SMA, melainkan diberi waktu sekitar satu tahun untuk belajar semua mata pelajaran dulu. Setelah itu, mereka baru menentukan jurusan yang benar-benar sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Sekilas, ide ini mungkin terdengar aneh atau bahkan ribet. Tapi kalau kita mau melihat lebih dalam---terutama lewat kacamata filsafat---ada nilai-nilai yang sangat penting yang selama ini sering kita abaikan dalam sistem pendidikan kita.

Sekolah Itu Bukan Jalur Cepat Menuju Pekerjaan

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih melihat sekolah hanya sebagai "jalur cepat" menuju pekerjaan. Dari SD, SMP, SMA, lalu kuliah, lalu kerja. Selesai.

Tapi filsuf seperti John Dewey, pelopor filsafat pendidikan progresif, punya pandangan yang berbeda. Bagi Dewey, pendidikan adalah proses hidup itu sendiri, bukan sekadar persiapan untuk hidup. Sekolah harus jadi tempat di mana anak-anak belajar menjadi manusia: berpikir kritis, mengenal diri sendiri, bekerja sama, dan menemukan makna dalam hidup mereka.

Kalau anak SMA langsung dijuruskan sejak awal, mereka jadi tidak punya kesempatan untuk mencoba hal-hal baru. Bisa saja seorang siswa ternyata lebih cocok di IPS, tapi karena nilainya bagus di Matematika, dia dimasukkan ke IPA. Akibatnya, dia belajar bukan karena tertarik, tapi karena terjebak.

Ini seperti menyuruh seseorang memilih jalan hidup saat ia bahkan belum tahu ke mana arah tujuan.

Menemukan Diri Itu Butuh Waktu

Dalam filsafat eksistensialisme, khususnya dari tokoh seperti Jean-Paul Sartre, ditekankan bahwa manusia pada dasarnya bebas. Ia bebas memilih, bebas menentukan makna hidupnya. Tapi kebebasan itu datang bersama tanggung jawab. Kita bertanggung jawab atas setiap pilihan yang kita buat.

Tapi bagaimana seseorang bisa memilih secara bertanggung jawab kalau ia bahkan tidak tahu siapa dirinya? Maka, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberi waktu untuk mengenal diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun