Tubuh adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan manusia. Setiap hari kita mengalaminya: tubuh yang lapar, lelah, sehat, atau sakit.Â
Kita hidup di dalam tubuh, bergerak dan merasakan dunia melaluinya. Namun dalam sejarah filsafat, tubuh bukan hanya dipandang sebagai alat fisik, tetapi juga sebagai sesuatu yang menyimpan makna eksistensial dan spiritual.Â
Pertanyaannya: apakah tubuh adalah sahabat yang menopang kehidupan, atau penjara yang membatasi kebebasan jiwa?
Dalam filsafat klasik, Plato membedakan secara tegas antara tubuh dan jiwa. Baginya, tubuh adalah penjara bagi jiwa yang murni dan abadi.Â
Jiwa dianggap sebagai inti sejati manusia, sementara tubuh hanya alat yang menahan dan menghalangi jiwa untuk mencapai pengetahuan sejati.Â
Hidup yang baik, menurut Plato, adalah hidup yang membebaskan jiwa dari ketergantungan pada tubuh dan keinginan-keinginannya.
Sebaliknya, Aristoteles memiliki pandangan yang lebih menyatukan. Ia melihat manusia sebagai makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa yang tak terpisahkan.Â
Jiwa bukanlah sesuatu yang tinggal dalam tubuh seperti sopir dalam kendaraan, melainkan bentuk dari tubuh itu sendiri. Dalam pandangan ini, tubuh bukanlah penjara, melainkan bagian esensial dari kehidupan manusia yang utuh.
Pandangan Ren Descartes membawa kembali pemisahan tajam antara tubuh dan pikiran. Dalam dualismenya, ia menyatakan bahwa tubuh bersifat mekanis dan dapat diukur, sementara pikiran atau kesadaran bersifat non-material dan tak terjangkau oleh sains.Â