Mohon tunggu...
Vinsensius SFil
Vinsensius SFil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Filsafat

Suka membaca dan menulis yang bermanfaat bagi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Estetika Rumah Betang (Bagian 1)

24 Februari 2023   00:58 Diperbarui: 24 Februari 2023   01:13 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring perkembangan zaman dan modernisasi, banyak kebudayaan Indonesia yang luntur dan menghilang. Padahal, di dalam suatu kebudayaan terkandung nilai-nilai luhur dan seni yang tinggi. 

Kebudayaan juga mencerminkan peradaban tertentu yang di dalamnya terdapat kebijaksanaan lokal yang dihayati oleh masyarakat tersebut. Arus modernitas dan penyamaan di segala bidang kehidupan telah menghancur suatu peradaban dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Berbagai alasan yang melatarbelakangi tindakan tersebut, ada yang tampaknya rasional, dan ada pula yang sangat absurd. 

 Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan Dayak di Kalimantan. Banyak tradisi yang telah ditinggalkan dan perubahan nilai-nilai yang cenderung ke arah negatif dan tidak orisinil. 

Salah satu simbol budaya yang sudah lama ditinggalkan, namun kini mulai dimunculkan kembali adalah rumah betang. Rumah betang merupakan rumah asli dari masyarakat Dayak di Kalimantan.

Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut rumah betang ini sebanyak sub-suku Dayak itu sendiri. Namun secara umum, masyarakat cenderung menyebut rumah tradisional ini adalah rumah betang, yang artinya rumah panjang.

Rumah betang ini memiliki banyak pintu, yang masing-masing pintu ini merupakan milik dari masing-masing kepala keluarga. Pada umumnya, setiap deretan dari pintu ke pintu ini adalah terdiri dari kerabat dekat, misalnya anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Sir Alfred Wallace, seorang naturalis berkebangsaan Inggris, yang melakukan penelitian di Kalimantan pada tahun 1855-1856 menulis:

"Rumah Dayak semua didirikan di atas tiang. Sering kali panjangnya mencapai 200 atau 300 kaki dan lebarnya 40 kaki. Lantainya selalu terdiri dari bilah-bilah yang dibelah dari bambu lebar.

Kalau dibuat dengan baik, ini menjadi lantai yang menyenangkan untuk berjalan telanjang kaki, sementara pada saat yang sama mampu menahan beban. Tetapi yang lebih penting, bambu ini dengan tikar di atasnya membentuk tempat tidur yang sangat baik, elastisitas bambu dan permukaannya yang bundar. 

Di sini kita segara menemukan guna dari bambu. Kalau juga sebuah rumah sementara diperlukan, baik oleh penduduk asli di ladangnya atau bagi penjelajah di hutan, tidak ada yang senyaman bambu."

Demikian gambaran dari rumah betang ratusan tahun yang silam. Memang secara fisik ada perbedaan dari setiap rumah betang dari masing-masing sub-suku. Namun dari keragaman ini terdapat persamaan nilai yang dihayati dalam kehidupan dan juga dalam mengapresiasi keindahan dari suatu karya seni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun