Mohon tunggu...
Vinsensius Patno
Vinsensius Patno Mohon Tunggu... Guru - Penulis Terhebat Adalah Penulis Yang Mampu Mengisnpirasi Banyak Orang

VINSENSIUS PATNO TINGGAL DI LABUAN BAJO MANGGARAI BARAT SEORANG GURU DAN JURNALIS Hp: 082144900530 email: vinsensius.patno1380@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gula Merah Hadiah dari Ibu

28 Desember 2017   23:23 Diperbarui: 29 Desember 2017   00:04 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesuksesanku berawal dari gula merah. Gula khas Manggarai inilah, pendukung perjuanganku menggapai cita-cita. Gula merah hasil keringat ayah, disadap olehnya dari pohon enau lalu diolah ibu dan ditukar dengan apa saja untuk menyambung perjuanganku. Gula merah melenyapkan dahaga, menghapus letih karena nikmat disetiap tegukan baik pagi ataupun sore hari. 

Apalagi diselingi cerita ayah dan ditambah lelucon ibu, rasanya, terbayar sudah peluh seharian. Mereka , ayah dan ibuku, petani tulen dari sebuah desa kecil bernama Rego di Manggarai Barat NTT. Rego, desa bergugusan bukit yang hijau, disanalah bersemi cinta ayah dan ibu yang pada akhirnya sebagai pemasak gula merah.

Jadilah aku, seorang anak petani dari Manggarai Barat,Flores, NTT. Menghabiskan waktu setiap hari setelah pulang sekolah menemani ayah ke kebun. Di sana ada banyak pohon enau. Sebagian tumbuh di tengah kebun dan yang lainnya di tepi kali. Ayah merawatnya dengan sangat baik sehingga pohon-pohon enau itu bertumbuh sangat subur. 

Ayah mencintai mereka seperti ia mengasihi ibu dan aku. Kata ayah, akupun harus bekerja. Anak petani harus bersahabat dengan kebun dan rumput. Alam dunianya. Biasanya ayah menyadap enau setelah selesai membersihkan kebun. Ayah menyadap enau disetiap senja. Warna jingga langit adalah saksi bisu keuletannya di atas pohon enau. 

Dari atas pohon, ayah selalu landu ( nyanyian khas manggarai ) sambil tangannya memukul- mukul batang pohon enau agar keluar airnya. Merdunya membias ke tengah desa seperti sedang mengiringi camar kembali ke sangkarnya. Ayahku, sesekali seperti sedang berharap, agar aku bisa meneruskan kebiasaannya menyadap enau. 

Melihatku lelah berjalan pulang, iapun mulai menyemangatiku, "Nana,( panggilan untuk anak laki-laki Manggarai ) air enau ini sebentar lagi menjadi gula malang ( gula merah dalam bentuk batangan ) dan gula rebok ( gula merah yang dihancurkan menjadi serbuk ) yang banyak oleh ibumu. Sebentar lagi, kita bisa mendapat jagung atau padi dari tetangga, jika ditukar dengan gula olahan ibumu. " Sepenggal kalimat itu, tersimpan di hati hingga kini. Sederet kata di ujung hari terpahat mati di benakku menghantarkan aku sampai diujung skripsi. 

Aku bersemangat bahwa hidup yang susah itu tak boleh abadi. Cukup sudah ibu terus-terusan menukar gula dengan jagung ataupun gula dengan padi, buat menyambung hidup kami. Namun jika ayah tetap mau menyadap enau, itu adalah kebanggaan, karena menurut kesehatan, gula merah itu besar manfaatnya, mengurangi penyakit diabetes. 

Bisa juga untuk menambah kelesatan makanan jika dicampur dalam masakan ibu atau rujak kakak. Di samping itu juga, ayah tetap melestarikan pohon enau yang semakin hari semakin tidak diperhatikan oleh generasi sekarang.

Ibuku yang sehari-harinya kupanggil mama selalu membantu ayah. Sabar benar ia membolak-balikkan air enau di dalam kuali beralaskan bara yang sangat panas agar cepat menjadi gula merah. Wajahnya menghitam lantaran diasap setiap hari. Lelahnya buram terlihat karena manis parasnya, tetap terpancar, meski hanya berbalutkan songke ( kain tenun dari Manggarai ). 

Manis tak berbedak adalah ayu wajah ibu - ibu desa dizaman itu. Perlahan, keriputnya kian beranak seiring usia yang semakin menua. Sangat mulia hatinya, tiada malu sedikitpun untuk pergi menukar gula dengan padi ke rumah-rumah tetangga agar kami bisa makan sehari dua hari. Tiada pula ia mengeluh, duduk beratapkan langit, tegap dibawah terik mentari, tak bersandal menjual gula merah agar aku tetap bisa meraih sarjanaku. 

Sejarahku benar-benar parah karena ibuku tak pernah memberiku uang ketika aku memintanya, malah ia menambah lagi gula merah banyak - banyak ke dalam tasku. " Nana, Gula merah ini adalah air susuku, jika engkau lapar isaplah gula merah ini, jika kamu dalam kesulitan gigitlah gula merah ini, jika kamu dalam bahaya makanlah gula merah ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun