Mohon tunggu...
Vincensia Prima P.
Vincensia Prima P. Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah media katarsis terbaik

Seorang manusia yang terlahir dari rahim ibu yang mulia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memanusiakan Lingkungan, Menembus Batas Ketidakmungkinan

20 Februari 2016   09:03 Diperbarui: 20 Februari 2016   09:49 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Konon katanya, manusia merupakan makhluk yang diciptakan sempurna karena memiliki akal dan budi. Sebagai makhluk yang (katanya) paling sempurna, manusia memegang kendali penuh terhadap alam semesta ini. Kepongahan manusia sebagai makhluk yang merasa punya kendali penuh atas alam semesta, membuatnya tak jera untuk menggagahi alam hingga satu per satu partisipan dalam rantai kehidupan musnah. Manusia menjadikan ‘perkembangan peradaban’ sebagai tameng untuk melindungi ego mereka dalam membabat sumber daya alam dan menggunakan alam sebagai objek untuk meraup profit yang sebesar-besarnya. Eksploitasi alam dalam rangka menyukseskan gaung industrialisasi dan modernisasi yang dijunjung manusia, semakin hari malah semakin menjerumuskan mereka dalam berbagai macam bencana; terganggunya ekosistem, cuaca ekstrim hingga peristiwa kabut asap yang tentu masih segar dalam ingatan kita. Bencana-bencana ini sudah pasti bukan datang dengan sendirinya atau secara insidental, melainkan hal tersebut merupakan efek domino yang ditimbulkan dari tidak selarasnya hidup manusia dengan alam. Alam mengamuk dan memberontak karena selalu dijadikan objek eksploitasi manusia. Disinilah alam bersuara tentang kelelahannya untuk menghadapi kerakusan manusia. Hanya segelintir orang yang akal, budi serta inderanya tidak tuli yang mampu mendengar raungan tersebut, sementara di luar sana masih banyak oknum-oknum bebal, kaum-kaum kapitalis dan bahkan (tanpa disadari) diri kita sendiri juga sangat garang mengangkat senjata untuk berperang dengan alam.

Kesempurnaan manusia yang diwakilkan oleh akal dan budinya, mendorong segelintir orang yang tidak termakan ego untuk membenahi dan melakukan aksi nyata dalam rangka memayungi alam. Kuasa penuh terhadap bumi dan segala isinya yang dipikul oleh manusia, membuat segelintir orang tersebut menyadari bahwa kesakitan alam masih memiliki harapan untuk disembuhkan. Oleh karena itu, sudah menjadi hal yang lumrah jika permasalahan lingkungan hidup menjadi salah satu topik seksi yang selalu diagendakan untuk menjadi perbincangan, baik dalam skala kehidupan sehari-hari hingga dalam ranah lokal, nasional sampai ke tingkat dunia. Seolah tak mau kalah, ilmu komunikasi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan pun juga ikut berpartisipasi dalam menyukseskan upaya untuk mendandani akal-budi manusia serta hubungan manusia dan lingkungan yang rusak. Dilandasi oleh realita bahwa manusia menjadi aktor utama yang dengan sesuka hati memperlakukan alam, para cendekiawan berpendapat bahwa komunikasi dapat menjadi pelerai hubungan antara manusia dengan alam. Mereka mengimani bahwa komunikasi memiliki efek jangkauan yang tepat sasar ketika krisis lingkungan sebagian besar disebabkan oleh manusia. Hubungan antara manusia dan alam dengan komunikasi sebagai mediatornya menjadi dasar para ilmuwan untuk meneliti dan mengembangkan gagasan-gagasan serta teori-teori yang berhubungan erat dengan komunikasi serta relasi manusia dengan alam. Penelitian dan teori-teori ini dipadatkan menjadi kajian baru dalam ilmu komunikasi, yakni komunikasi lingkungan atau environmental communication (Milstein dalam Littlejohn & Foss, 2009:344). Anonim (1999:5) mendefinisikan komunikasi lingkungan sebagai proses pertukaran pesan yang strategis dan dirancang sedemikian rupa, sehingga kebijakan-kebijakan yang efektif mengenai lingkungan dapat diberlakukan, serta rancangan-rancangan mengenai proyek yang cocok terhadap ketahanan lingkungan bisa direalisasikan. Robert Cox (2010) mengamini bahwa komunikasi lingkungan merupakan sebuah studi tentang bagaimana kita menyampaikan masalah-masalah lingkungan, efek dari komunikasi ini terhadap persepsi manusia tentang lingkungan dan dirinya sendiri serta hubungan manusia dengan alam.

Kajian komunikasi lingkungan bukan hanya dilihat sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang sarat akan teori, melainkan juga harus diupayakan sekeras mungkin agar tercapai hubungan yang baik antara manusia dengan alam, serta dapat diimplementasikan dalam tindakan nyata. Pemikiran utama dari kajian ini adalah asmusi mengenai bagaimana cara kita berkomunikasi ternyata sangat mempengaruhi apresiasi kita terhadap lingkungan hidup. Persepsi inilah yang kemudian akan menjadi guidance bagi manusia untuk menjabarkan relasinya dengan alam dan bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam (Milstein dalam Littlejohn & Foss, 2009:345). Lebih rinci lagi, Milstein menjelaskan bahwa relasi manusia dengan lingkungan dirembukkan dalam komunikasi kultural, media massa, komunikasi publik dan interpersonal, budaya pop, serta pada area lainnya. Segala area yang mencakup tentang komunikasi lingkungan ini, baik secara verbal maupun nonverbal, publik atau interpersonal, tatap muka maupun komunikasi bermedia, dapat merasuk dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan suasana politik tertentu yang erat kaitannya dengan tujuan dari kepentingan tertentu.

Pembahasan mengenai hubungan manusia-alam dengan komunikasi sebagai mediator, terjadi dalam berbagai macam latar kehidupan. Perbincangan tersebut sudah pasti dipengaruhi oleh berbagai macam tujuan dari sebuah kepentingan. Hal inilah yang turut membantu manusia dalam membentuk persepsi tentang relasi manusia dengan lingkungan. Kita seolah-olah diarahkan dan dibentuk untuk melihat lingkungan dari sisi tertentu serta merepresentasikan hubungan kita dengan lingkungan sesuai dengan background pengetahuan yang kita miliki. Milstein dalam Littlejohn & Foss (2009) berpendapat bahwa komunikasi tidak hanya merefleksikan tetapi juga mengonstruksi, memproduksi dan menaturalisasi hubungan manusia dengan lingkungan.

‘Bali Tolak Reklamasi’ merupakan salah satu implementasi nyata bagaimana masyarakat Bali memandang hubungan mereka dengan alam. Gerakan ‘Bali Tolak Reklamasi’ sudah beberapa tahun ini menjadi topik yang sering diperbincangkan masyarakat, hingga tak sedikit orang yang tergugah hatinya untuk bersama-sama menaruh aksi dan keprihatinan terhadap Teluk Benoa yang rencananya akan menjadi sasaran para kapitalis untuk membangun kerajaannya sendiri tanpa mementingkan keselarasan hubungan dengan lingkungan. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, dimana nilai-nilai Tri Hita Karana menjadi salah satu dasar mereka dalam menjalani hidup. Tri Hita Karana merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat Bali yang berisi mandat tegas kepada manusia untuk menjalin hubungan yang seimbang dan harmonis dengan Tuhan, sesama dan alam. Maka dari itu, dengan kemunculan peraturan pemerintah yang menyetujui Teluk Benoa direklamasi, masyarakat Bali bahkan seluruh masyarakat Indonesia dengan tegas menentang peraturan tersebut. Hal ini sangat wajar diakukan, karena masyarakat Bali menganggap hubungannya dengan lingkungan sebagai suatu jalinan yang sakral. Berbagai upaya penentangan terhadap reklamasi Teluk Benoa pun dilancarkan. Konser-konser digelar, kampanye dikumandangkan, poster disebarkan, hingga lagu-lagu pun diciptakan. Usaha-usaha ini tentu dilakukan sebagai bentuk komunikasi masyarakat atas praktek-praktek yang melanggar keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan. Lebih dari itu, segala bentuk agenda kegiatan yang direncanakan juga bertujuan untuk memengaruhi masyarakat lain (terutama pemerintah) agar peduli dengan masalah lingkungan. Robert Cox (2010:25) mengungkapkan bahwa komunikasi lingkungan merupakan sebuah bentuk dari aksi simbolik. Bahasa dan anjuran untuk melakukan sesuatu telah menanamkan sebuah makna dan secara aktif menyusun kesadaran kita terhadap dunia dan lingkungan.

Dalam bukunya yang berjudul Environmental Communication and the Public Sphere, Robert Cox (2010:29) mengisyaratkan bahwa kajian mengenai komunikasi lingkungan terus memperbaharui diri, sehingga bergerak menjadi sebuah kajian yang multidisipliner. Cakupan studinya pun berkembang luas, yakni :

1.       Retorika dan wacana ilmiah mengenai lingkungan

2.       Media dan jurnalisme lingkungan

3.       Partisipasi publik dalam menempuh keputusan tentang lingkungan

4.       Pemasaran sosial dan kampanye advokasi

5.       Kolaborasi lingkungan dan resolusi konflik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun