Mohon tunggu...
Vincensia Prima P.
Vincensia Prima P. Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah media katarsis terbaik

Seorang manusia yang terlahir dari rahim ibu yang mulia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kecantikan dan Perempuan dalam Jerat Budaya Konsumtif

23 Mei 2019   10:00 Diperbarui: 23 Mei 2019   13:25 3172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: https://hot.liputan6.com/read/3967356/5-cuitan-lebih-mengutamakan-skincare-ala-netizen-ini-kocak-banget dari twitter.com/weekdies )

Slogan 'Lapar dalam keadaan glowing' beberapa minggu ini menjadi slogan yang ramai diperbincangkan dalam media daring. Sebagai seorang mahasiswi yang hidupnya bergantung dari belas kasih orangtua, slogan ini cukup 'lucu-lucu menggelitik' untuk direfleksikan. 

Bagaimana tidak, hasil industri kecantikan dan kosmetik yang di dalamnya mencakup produk make-up dan perawatan kulit atau skin care telah bergeser posisinya dari hierarki kebutuhan yang 'nggak penting-penting banget' menjadi kebutuhan wajib bagi setiap insan manusia, khususnya perempuan; termasuk saya. 

Jika diistilahkan, kebutuhan primer perempuan Indonesia di era milenial ini sudah beralih dari sandang, pangan, papan, menjadi sandang, pangan, papan dan perawatan.

Berdasarkan data secara global yang dirilis oleh GlobalData (2018), Asia Pasifik menempati posisi pertama sebagai wilayah dengan industri kosmetik dan toiletries tertinggi yang mencapai persentase sebesar 36.7% dunia. 

Lebih spesifiknya, hasil industri kosmetik dan toiletries di Asia Pasifik terbanyak datang dari produk skincare yang mengalami kenaikan sebanyak 5.6%, diikuti dengan produk perawatan rambut yang naik sebanyak 5.4% dan make-up dengan persentase kenaikan sebanyak 4%. 

Pada ranah nasional, Kementerian Perindustrian di awal tahun 2018 merilis sebuah artikel yang isinya mengenai pertumbuhan industri kosmetik nasional yang tercatat naik sebanyak 20% atau empat kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2017. Pertumbuhan industri kosmetik yang meningkat tentu berbanding lurus dengan permintaan pasar yang besar terhadap produk-produk kecantikan dan kosmetik di Indonesia. 

Gairah industri kosmetik dan kecantikan di Indonesia didukung oleh adanya daya beli yang besar dari masyarakat mulai dari yang urban hingga pedesaan. Di tahun 2013 contohnya, hasil survei Nielsen mengungkapkan bahwa selama semester I tahun 2013, penjualan kosmetik di daerah kota maupun desa grafiknya meningkat dengan cukup signifikan, dibandingakan tahun-tahun sebelumnya. Hellen Katherina, Direktur Home Panel Services Nielsen Indonesia mengatakan, penjualan kosmetik di perkotaan tahun 2013 mencapai 606 miliar kemasan, meningkat 9,4% dari tahun 2012 yang penjualannya mencapai 554 miliar kemasan. Sedangkan penjualan kosmetik di pedesaan sepanjang semester I-2013 mencapai 82 miliar kemasan, naik 27,5% dari tahun 2012. Hellen kemudian menjelaskan bahwa data kenaikan penjualan kosmetik di Indonesia mengindikasikan adanya perubahan masyarakat yang menjadikan kosmetik sebagai suatu kebutuhan (dilansir dari Kontan.co.id).

Daya beli masyarakat terhadap produk-produk kosmetik dan kecantikan di Indonesia memiliki kecenderungan untuk terus meningkat, sehingga diprediksi di tahun-tahun berikutnya, kosmetik dan kecantikan masih menjadi industri primadona masyarakat Indonesia, mengingat generasi milenial menaruh perhatian khusus terhadap kecantikan dan kosmetik sebagai kebutuhan yang wajib. Pangsa pasar industri kosmetik di era milenial pun tidak hanya terpaku pada kosmetik untuk perempuan. Gaya hidup milenial yang mementingkan perawatan terhadap kulit, tubuh dan wajah, mendorong adanya perkembangan pangsa pasar ke arah lebih luas; tidak hanya untuk perempuan namun juga untuk laki-laki.

Kenaikan signifikan terhadap industri kosmetik dapat diakui merupakan andil besar dari munculnya beragam tren kecantikan melalui media-media daring seperti Facebook, Instagram dan Youtube. Menjamurnya BeautyVlogger, Selebgram dan Influencer membawa pengaruh tersendiri bagi perkembangan dan sebar luas tren kecantikan. Potensi ini dilirik oleh perusahaan-perusahaan kosmetik untuk meningkatkan penjualan dengan memanfaatkan platform-platform online yang digadang-gadang mampu memberikan benefit besar bagi penjualan suatu produk. Fenomena ini tentu bukan menjadi hal yang mengejutkan lagi, mengingat hadirnya media daring telah memberi ruang tanpa batas untuk mendukung promosi produk, menciptakan brand awareness dan citra produk yang baik.

Peningkatan konsumsi produk-produk kosmetik dan kecantikan di Indonesia selain didorong oleh adanya pasar digital, juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku konsumen Indonesia terhadap produk-produk industri kecantikan. GlobalData (2018) melakukan penelitian dengan membandingkan faktor pendorong utama dari sikap dan perilaku konsumen terhadap produk-produk kecantikan antara orang Indonesia dan Filipina, yang secara mengejutkan memiliki perbedaan signifikan. Dalam data tersebut, GlobalData (2018) membongkar bahwa minat beli yang meningkat pada produk kecantikan di Indonesia didorong oleh hasrat besar untuk menciptakan citra diri yang baik melalui penampilan fisik, kosmetik premium sebagai wujud kesenangan dan kepuasan diri, serta didorong oleh personalisasi. Hal ini berbeda jauh dengan masyarakat Filipina yang membeli produk kosmetik berdasarkan efektivitas dan efisiensi sebuah produk, kandungan produk yang natural dan murni serta keunikan yang diusung dari sebuah produk kosmetik. 

Sadar atau tidak, data ini menampilkan potret realitas bahwa masyarakat Indonesia masih terjerat dalam bingkai kuno terkait tolak ukur kecantikan mutlak yang harus dimiliki seorang perempuan yakni cantik dari segi fisik, yang kemudian berimplikasi pada tindakan konsumtif terhadap produk-produk industri kosmetik dan kecantikan.

Pada era postmodern ini, arus kapitalisme telah memantik persoalan terhadap perilaku konsumsi masyarakat, khususnya pada perempuan di dunia ketiga yang sengaja dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga perilaku konsumsi besar-besaran terhadap produk kosmetik dan kecantikan dianggap sebagai hal yang lumrah. Noerhadi (2014) mengatakan bahwa masyarakat konsumtif lahir dari munculnya posmodernisme yang terus membombardir masyarakat untuk meraih kebutuhan akan aktualisasi dan eksistensi diri. Pola konsumsi dalam posmodernisme melanggengkan pemaknaan terhadap sebuah komoditas, yakni nilai guna dan kualitas simbolik (Soedjatmiko, 2008). Nilai guna mengacu pada manfaat dasar dari sebuah produk, sedangkan kualitas simbolik lebih mengarah pada manfaat dari sebuah produk sebagai aktualisasi diri dan konstruksi identitas.

Slogan 'Lapar dalam keadaan glowing' suka tidak suka, mau tidak mau menjadi potret realitas perempuan Indonesia dalam memaknai produk kosmetik dan kecantikan sebagai kebutuhan primer. 'Lebih baik laper, deh daripada gak bisa beli skinker', begitu katanya. Belum lagi tren-tren kecantikan seperti sulam alis, sulam bibir, reboisasi bulu mata (kata seorang teman untuk menyebut eyelash extension), tren veneer yang dapat membuat gigi bak kelinci dan putih seputih porselen, perawatan kulit yang membentuk persepsi bahwa kulit cantik itu tanpa jerawat beserta bopeng-bopengnya, injeksi vitamin C guna mendapat kulit putih, menjamurnya produk kecantikan yang menjanjikan wajah glowing bak eonnie Korea, serta produk gincu dengan berbagai sebutan, mulai dari liptint, lip tattoo, lip coat, dan lip lip lainnya yang sebenarnya memiliki nilai guna sama, yakni untuk memberi warna pada bibir.

 Produk-produk ini merupakan cerminan dari usaha kapitalis dalam mengkomodifikasi makna 'cantik' itu sendiri, yang pada hakekatnya bukan melulu soal penampilan fisik. Cantik yang seutuhnya ada dalam diri setiap perempuan, dari kebaikan yang ditebarkan dan dari pola pikir kita. Tapi lagi-lagi, kita dibuat tidak berdaya; tidak ada satupun manusia di dunia ini yang sekiranya benar-benar bersih dari jerat kapitalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun