Mohon tunggu...
Xavier Kharis
Xavier Kharis Mohon Tunggu... -

“Dalam kesadaran moral ku, mata Allah menatapku, dan sejak itu, tak pernah dapat aku melupakan bahwa mata itu memandangku” (Kierkergaard)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berdamai dengan Gaib

9 Januari 2019   00:38 Diperbarui: 9 Januari 2019   00:47 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Suatu malam, saya duduk manis di K.A.Taksaka malam yang mengantar saya ke Yogyakarta. Saya merasa nyaman karena ditemani oleh seorang bapak yang duduk di sebelah saya, karena rupanya beliau masih saudara dengan seorang pendeta yang merupakan kenalan saya. Namun bapak itu rupanya hanya menempuh kurang dari separuh perjalanan karena kemudian ia turun di Purwokerto. Separuh perjalanan berikutnya saya hanya tidur saja. 

Tetapi kemudian saya terbangun ketika waktu menunjukan bahwa 2 jam lagi saya akan tiba di Yogyakarta. Saya mulai merasa bosan karena teman mengobrol saya sudah tidak ada. Maka mulailah saya membaca artikel-artikel yang saya simpan di laptop saya. Lumayan lah, 2 jam membaca mungkin bisa membuat rasa bosan sedikit hilang.

Tiba-tiba seorang laki-laki yang baru saja dari toilet dan duduk di bangkunya melihat saya asyik membaca. Akhirnya, iapun memberanikan diri untuk membuka pembicaraan. Karena ia sudah tahu kalau saya berlatar belakang pendidikan teologi dan filsafat keilahian, maka ia mulai menyentuh pembicaraan tentang satu hal, yakni "gaib". Puji Tuhan, saat itu sudah mulai subuh. Mungkin kalau kami berdiskusinya tengah malam, saya rasa ia malah nantinya tidak bisa tidur karena terbayang-bayang dengan gaib hehe..

Tetapi orang ini nampaknya tidak akan terlalu gelisah dengan gaib, karena ia dengan tegas mengatakan "ga ada gaib dalam kamus hidupku, bro!". Namun pernyataan ini malah memancing saya untuk bertanya "kamu percaya Tuhan?". Dengan tegas pula ia menjawab bahwa ia benar-benar percaya dan merasakan bahwa Tuhan itu ada. Tetapi saya kemudian menjawab "kamu tidak akan bisa percaya Tuhan, karena kamu tidak mengenal gaib!". 

Saya tidak akan melanjutkan perbincangan kami seperti apa, karena yang saya fokuskan adalah kepada apa yang saya dapat dalam perbincangan kami. Dalam perbincangan, bahkan kami berdua sampai membuka KBBI di gadget kami untuk memperdalam diskusi ini. 

Mengapa? Karena saya kemudian membahas tentang perbedaan Tuhan dan makhluk gaib. Orang tersebut nampaknya sangat "beriman", dan menolak bila Tuhan disamakan dengan makhluk gaib. Tapi kemudian ia juga sulit menjelaskan perbedaan keduanya.

Maka sekarang saya bertanya, apakah kita menyembah "Dia" yang dari alam gaib? 

Saya sendiri tidak setuju dengan stigma yang ditempelkan pada kata "gaib" yang kemudian menjadikan kata tersebut terlalu negatif, bahkan kita tidak bisa mengatakan bahwa Tuhan itu gaib. Oleh karena itu saya mengajak kita semua untuk membuka KBBI dan mencari definisi dari kata "gaib" yang dikaji oleh KBBI. 

Dan definisi yang diberikan adalah "tidak terlihat", "tersembunyi", dan "tidak nyata". Saya rasa yang membuat kata ini menjadi negatif adalah soal "tidak nyata", dan tafsiran bahwa "gaib" ini menjadi kata yang menunjuk kepada setan dan kawan-kawannya yang unik dan ngeri.

Kembali kepada soal "tidak nyata". Definisi yang satu ini pada akhirnya sedikit membunuh pandangan mengenai "gaib", karena ada kemungkinan bahwa publik menafsirkan bahwa definisi "tidak nyata" ini sama artinya dengan fiktif. Padahal kita baru saja menyentuh definisi pertama bahwa "gaib" itu juga berarti kasat mata. 

Maka, sebaiknya kita membuka pikiran kita bahwa "tidak nyata" ini merupakan sebuah definisi yang tercipta karena apa yang kasat mata itu tidak nyata secara visual dalam kerangka empiris. Sederhananya begini;  Apa yang dikatakan gaib itu tidak bisa dibilang nyata karena apa yang tidak bisa kita lihat langsung dengan mata kita, berarti itu "tidak nyata". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun