Mohon tunggu...
Evi Yuniati
Evi Yuniati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bermimpi, bercita-cita menjadi penulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Curhat Sahabat

9 September 2014   00:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:16 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Layang-layang itu putus,

Layang-layang itu terhempas mengikuti arah angin,

Layang-layang itu bergerak tanpa arah pasti,

Layang-layang itu adalah aku...

Aku perhatikan sedari tadi Lintang hanya mencorat-coret lembar putih di hadapannya. Bait-bait puisi lagi. Anak ini kalau lagi galau pasti kayak gini. Kelakuannya jadi ngga jelas. Pandangan matanya nanar, kalau diajak ngomong jawabannya cuma “ooo”, “aaa”, “iya kali”. Lintang lagi kesengsem sama seorang dokter muda yang katanya sih keren dan pintar. Dokter keren, begitu Lintang membahasakan panggilannya. Nama dokter itu Satria.

Lintang mengenalnya waktu mengikuti sesi terapi untuk penyakit sinusnya. Dia cerita padaku kalau dokter terapinya ganteng, keren, putih. Pokoknya sesuai dengan idaman hatinya. Ternyata kedekatan Lintang dan Satria tak hanya sebatas di jam-jam terapi. Di luar jam terapi, komunikasi mereka berjalan baik. Mereka sudah janjian ketemuan, nonton bareng, makan bareng. Semua berita itu aku dapatkan darinya tanpa pernah melihat langsung seperti apa sosok sang dokter pujaan hati itu.

Pernah dua atau tiga kali Lintang bilang akan mengenalkan aku pada Satria, tapi mungkin waktunya yang ngga tepat terus sampai sudah berjalan dua minggu ini aku tak pernah bertemu dengan Satria.

Bahagia? Sudah pasti. Aku senang melihat Lintang bahagia. Dia adalah sahabat terbaikku. Teman suka dan duka. Kami saling mendukung satu sama lain. Lintang selalu ada di saat aku terpuruk, begitu juga sebaliknya. Aku selalu berdoa semoga persahabatan ini kekal sampai maut yang memisahkan. Terkadang ada selisih paham di antara kami, tapi semuanya akan kembali biasa lagi karena aku dan Lintang seperti tidak bisa dipisah. Bahkan yang lucunya, sakitpun kita bisa bareng macam anak kembar.

Itulah persahabatanku dengan Lintang. Seperti saat ini, di saat lagi galau aku tahu pasti dia butuh aku ada di sampingnya meskipun ngga banyak yang dia bicarakan. Kegalauan dia saat ini disebabkan oleh Satria. Iya, si dokter ganteng nan keren itu sudah membuat harinya menjadi kosong. Ternyata dua minggu atau tiga minggu bersama Satria sudah diisi hal-hal manis. Pastinya lah ya. Perempuan mana yang kalau dikasih harapan tidak senang. Tapi, ternyata harapan demi harapan yang dihembuskan Satria pada Lintang hilang begitu saja. Semua itu harapan palsu. Disaat Lintang menemukan sosok yang dicarinya, semua yang sudah dijalani bersama Satria hanya dianggap biasa saja. Kedekatan mereka itu tak lebih hanya sebatas pertemanan. Satria menganggap semua hal yang dia lakukan bersama Lintang adalah hal yang wajar sebagai teman.

Aku yang sejak awal tahu perkembangan hubungan Lintang dan Satria merasa geram dengan sikap Satria. Edan ya! Segampang itu kah cowok memperlakukan cewek? Kenapa harus bersikap manis dan memberi harapan? Cewek yang ke-geer-an? Heyyy...ga ada sebab tanpa akibat. Jangan memulai kalau tak mau mengakhiri. Sekarang keadaannya justru dia yang mulai, dia juga yang mengakhiri. Memang rasa itu ngga bisa dilawan dengan rasio. Tapi, apa iya harus mengorbankan perasaan cewek? Menurutku ngga bisa begitu juga. Ngga adil. Selama ini setahuku yang menjadi korban di kisah percintaan itu selalu cewek.

Seperti yang sekarang dialami sama Lintang. Aku merasa ngga seharusnya Lintang mendapat perlakuan seperti itu dari Satria. Kalau memang hanya berteman, janganlah memberi kesan berlebih seperti itu. Bentuk perhatian kepada teman atau kepada yang lebih dari teman seharusnya dibedakan. Salah-salah bisa menimbulkan persepsi yang berbeda dan kalau sudah salah kaprah siapa yang mau disalahkan? Yang pasti selalu ada korban.

“Satria jahat Naz, jahat banget!” aku merangkul Lintang. Diapun menangis sesenggukan. Sebenarnya akupun baru mengalami hal yang sama. Sebulan yang lalu. Lintang adalah saksiku. Seperti yang aku bilang, persahabatanku dengan Lintang lebih dari saudara sekandung. Aku sangat mengerti posisi Lintang karena, aku pernah di posisi itu sebulan yang lalu. Aku dan Lintang sama-sama korban. Korban dari kebahagiaan semu.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun