Mohon tunggu...
Vidyanova Rizky
Vidyanova Rizky Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - yamadha

imagination

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Resensi Cerpen "Suap" Karya Putu Wijaya

13 April 2021   13:26 Diperbarui: 23 April 2021   21:39 9414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Identitas

  1. Judul Cerpen         : Suap
  2. Nama Pengarang: Putu Wijaya
  3. Penerbit                  : Jawa Pos dan Gramedia Pustaka Utama
  4. Tahun Terbit         : 21 September 2008 dan Februari 2009

Sinopsis

Cerpen ini menceritakan tentang kasus penyuapan. Berawal dari tokoh "saya" (sebagai juri) yang disuap uang untuk memenangkan lomba lukis internasional. Tokoh "saya" ragu-ragu dalam menerima uang. Sebenarnya dia menginginkan uang itu untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi istri dan anaknya. Tetapi disamping itu tokoh "saya" takut masuk penjara. Keadaan dipersulit dengan dibuangnya amplop yang berisi uang suapan oleh Ade, anak dari tokoh "saya".

"Apapun yang saya lakukan sekarang, saya sudah basah. Tak menolak dengan tegas, berarti saya sudah menerima. Ketidakmampuan saya untuk tidak segera menolak, karena kurang pengalaman, tak akan dipercaya". Tokoh "saya" merasa pasrah.

Setelah 3 bulan 10 hari berlalu, si pesuap tidak kunjung datang dan penentuan pemenang lomba sudah terlampau lama. Akhirnya tokoh "saya" bertekad untuk membuka amplop. Disitulah terdapat plot twist yang mengakibatkan tokoh "saya" dihajar habis-habisan oleh para tetangga.

Biografi

Putu Wijaya dikenal sebagai novelis, cerpenis, dramawan, dan wartawan. Ia lahir tanggal 11 April 1944 di Puri Anom, Tabanan, Bali. Nama lengkapnya adalah I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya ini dapat diketahui bahwa ia berasal dari keturunan bangsawan. Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Raka. Putu Wijaya pernah menikah dengan Reni Jayusman sekitar tahun 1980-an, tetapi usia perkawinan mereka tidak berlangsung lama. Dia menikah lagi dengan Dewi Pramunawati dan dikarunia seorang anak laki-laki bernama I Gusti Ngurah Taksu Wijaya.

Ia menamatkan sekolah rakyat hingga sekolah menengah atas di Bali, kemudian Putu Wijaya melanjutkan studi di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada dan mendapat gelar sarjana hukum tanggal 28 Juni 1969. Di samping berkuliah di Fakultas Hukum, Putu juga belajar di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) selama satu tahun, yaitu tahun 1964. Tahun 1968 ia ikut bermain di Bengkel Teater Rendra dan sempat mementaskan "Bip-Bop" dan "Pozzo" dalam drama Menunggu Godot di Jakarta tahun 1969. Sejak tahun 1959 Putu Wijaya bermain drama dengan Kelompok Sanggar Bambu. Di sanggar itu, ia menyutradarai pementasan Lautan Bernyanyi tahun 1968. Setelah pindah ke Jakarta, Putu Wijaya bergabung dengan kelompok Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer. Dia juga menggabungkan diri dengan kelompok Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Di samping itu, Putu Wijaya juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah memimpin majalah Ekspres (karena majalah itu mati), ia bekerja sebagai redaktur majalah Tempo. Pada saat itulah Putu Wijaya mendapat dukungan dari beberapa temannya di Tempo untuk mendirikan sebuah teater. Akhirnya, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri. Dia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman. Tahun 1973 Putu Wijaya mendapat beasiswa untuk belajar drama di Jepang selama satu tahun. Dia hanya sanggup memanfaatkan beasiswa itu selama tujuh bulan, lalu kembali ke Indonesia dan aktif kembali sebagai staf redaksi majalah Tempo. Tahun 1974 Putu Wijaya mendapat kesempatan untuk mengikuti lokakarya penulisan kreatif di Iowa City, Amerika Serikat. Kegiatan itu bernama International Writing Program yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Iowa. Setelah pulang ke Indonesia tahun 1975, ia mendapat kesempatan untuk bermain drama dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, sebelah timur kota Paris, Prancis. Tahun 1985 Putu Wijaya mengikuti kegiatan Festival Horizonte III di Berlin, Jerman.

Putu Wijaya telah menulis karya sastra dalam jumlah yang besar, baik dalam bentuk drama, novel, cerpen, maupun puisi. Beberapa drama yang ditulis Putu Wijaya, antara lain, (1) Lautan Bernyanyi, 1967, (2) Anu, 1974, (3) Aduh, 1975; (4) Dag Dig Dug, 1976, (5) Edan, 1977, dan (6) Gerr, 1986. Kumpulan cerita pendek Putu Wijaya, seperti (1) Bom, 1978, (2) Es, 1980, dan (3) Gres, 1982 juga dikenal secara luas. Kumpulan puisi Putu Wijaya berjudul Dadaku adalah Perisaiku, terbit tahun 1974. Dia juga menulis banyak novel yang mendapat sambutan luas. Novel-novel tersebut ialah (1) Bila Malam Bertambah Malam, 1971, (2) Telegram, 1972, (3) Pabrik, 1976, (4) Stasiun, 1977, (5) Ms, 1977, (6) Tak Cukup Sedih, 1977, (7) Ratu, 1977, (8) Sah, 1977, (9) Keok, 1978, (10) Sobat, 1981, (11) Lho, 1982, (12) Nyali, 1983, (13) Pol, 1987, (14) Perang, 1995, dan (15) Mala Tetralogi Dangdut (2008). Kumpulan cerpennya berjudul Klop (2010) Sejak tahun 1990-an Putu bergiat juga dalam dunia perfilman. Dia mendirikan "Putu Wijaya Mandiri Production", rumah produksi untuk pembuatan sinetron di televisi. Dia telah menyutradarai 3 buah film untuk layar lebar, yaitu: "Cas-Cis-Cus, "Zig Zag", dan "Plong". Untuk jenis sinetron, rumah produksinya telah menghasilkan "Dukun Palsu" (13 episode), "Pas" (52 episode), "None" (39 episode), "Warteg" (20 episode), dan "Jari-Jari Cinta". Putu Wijaya mendapat beberapa penghargaan dan hadiah atas karya-karyanya. Tahun 1967 naskah Putu Wijaya "Lautan Bernyanyi" mendapat hadiah ketiga dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penulisan Lakon. Tahun 1980 ia memperoleh Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand atas karyanya Telegram dan tahun 2008 ia menerima Penghargaan Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki.

Kelebihan

Unsur Intrinsik

  1. Tema: tema yang diambil menarik dan relevan di masa sekarang, yaitu tentang kemanusiaan.
  2. Alur: menggunakan alur maju sehingga lebih mudah dipahami oleh pembaca. Terdapat plot twist yang menarik di akhir cerpen, yaitu ketika tokoh “saya” membuka amplop dan ternyata isi amplop bukanlah uang suapan, melainkan hanya tumpukan kertas-kertas putih.
  3. Sudut pandang: menggunakan sudut pandang pertama, ditandai dengan adanya kata ganti "saya", sehingga memudahkan pembaca masuk ke dalam isi cerpen.
  4. Amanat: Putu Wijaya memberikan amanat yang sangat baik di dalam cerpen. Terdapat amanat secara implisit bahwa kita harus menghindari suap karena suap merupakan perbuatan yang buruk yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Kita tidak boleh ragu-ragu dan harus berani dalam mengambil keputusan. Kita harus bersyukur dengan apa yang kita miliki karena masih banyak orang lain yang kurang beruntung daripada kita. Selain itu, juga terdapat amanat secara eksplisit yaitu kalimat yang diucapkan oleh istri dari tokoh “saya” bahwa “Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik”.

Unsur Kebahasaan

Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami isi cerpen.

Kelemahan

Unsur Intrinsik

Tokoh dan penokohan: banyak tokoh di dalam cerpen yang memiliki watak kurang baik dan tidak patut untuk dicontoh. Seperti:

  1. Tetangga yang mengganti isi amplop dengan kertas dan mencuri uang suapan.
  2. Ade yang suka usil.
  3. Tokoh tamu atau si pesuap memiliki watak: Tidak punya malu, dibuktikan dengan kalimat “tanpa mengenalkan dirinya, dia menyatakan keinginannya untuk menyuap” dan progresif, dibuktikan dengan tokoh tamu atau si pesuap terus mendesak agar keinginan untuk menyuap itu berhasil.
  4. Tokoh “saya” memiliki watak:
  • Kurang tegas, dibuktikan saat pesuap atau tamu menyodorkan uang, tokoh “saya” hanya diam dan tidak menjawab.
  • Suka bimbang, dibuktikan dengan tokoh “saya” yang enggan menerima uang karena takut masuk penjara dan neraka, disamping itu tokoh “saya” sebenarnya ingin menerima uang itu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
  • Kurang bersyukur dan kurang bijaksana, dibuktikan dengan kalimat tokoh “kenapa orang lain boleh bahagia dan saya hanya kelelap kemiskinan karena membela kesucian. Jauh lebih baik makan suap meskipun dihukum, daripada dihukum sebab kena suap tanpa sempat tanpa selembat pun menikmati manis suapnya.”
  • Kurang sabar, dibuktikan dengan kejadian di akhir cerpen, yaitu tokoh “saya” melempari batu-batu ke rumah tetangga dan menghajar motor milik tetangga.

Unsur Kebahasaan

  1. Terdapat kalimat yang kurang mendidik di akhir cerpen, yaitu “Bangsat! Aku yang disuap! Aku yang dijebloskan ke bui dan neraka, kamu yang enak-enak menikmati! Bajingan!”.
  2. Terdapat kata tidak baku dan tidak sesuai dengan sistem penulisan EYD dalam kalimat cerpen, yaitu:
  • Ini adalah perjuangan hak azasi yang suci. Seharusnya azasi ditulis dengan asasi.
  • Lalu dia mengulurkan sebuah cek kosong yang sudah ditanda-tangani. Seharusnya ditanda-tangani ditulis ditandatangani, tidak perlu memakai tanda hubung (-).
  • “Satu milyar? Dua milyar? Lima milyar?”. Seharusnya milyar ditulis miliar.
  • Cepat sekali dia mengeluarkan HP. Sebaiknya HP diganti dengan ponsel (telepon seluler).
  •  Saya tidak berani menjawab terus-terang. Seharusnya kata terus-terang ditulis terus terang, tidak perlu menggunakan tanda hubung (-).
  • Rupanya dia nekat terjun meneruskan misi saya yang gagal karena dia tidak rela Ade saya strap. Seharusnya kata strap ditulis setrap, karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan kata strap, tetapi ditemukan kata setrap yang memiliki arti hukuman.
  • “Terimakasih!”. Seharusnya kata tersebut ditulis terima kasih.
  • Dia sudah terlalu capek hidup dalam kampung kumuh. Seharusnya capek ditulis dengan capai.
  • Meski sudah saya sembunyikan dengan begitu rapih, ….. Seharusnya rapih ditulis rapi.
  • Saya menghela nafas dalam. Seharusnya nafas ditulis napas.
  • Kalau saja para tetangga tidak keburu menyerbu. Seharusnya keburu ditulis terburu.

Simpulan

Cerpen suap karya Putu Wijaya patut untuk dibaca. Beliau memberikan amanat yang sangat baik di dalam cerpen. Selain itu, bahasa dan alur yang digunakan mudah dipahami oleh pembaca. Permasalahan dalam cerpen ini juga sering terjadi di negeri kita, sehingga dapat menjadi nasihat bagi kita semua.

sumber: 

  1. http://poncowae.blogspot.com/2009/05/telisik-cerpen-menerima-suap-karya-putu.html
  2. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Putu_Wijaya#:~:text=Putu%20Wijaya%20dikenal%20sebagai%20novelis,ia%20berasal%20dari%20keturunan%20bangsawan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun