Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hindari Politisasi Agama

25 Februari 2023   13:48 Diperbarui: 25 Februari 2023   13:51 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, sejatinya masyarakat kita itu sedang terpolarisasi setidaknya setelah Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017. Waktu itu kontestasi memang sedemikian ketat dan kejam. Ketat di sini artinya yang persaingan antar keduanya memang sangat ketat. Lalu kejam karena mengandalkan politik identitas sebagai cara untuk meraup suara.

Saat itu memang terjadi persaingan sengit antara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dengan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat. Basuki atau banyak orang menyebut dengan Ahok menjadi sasaran kebencian gegara dia menyebut salah satu ayat di Al Quran yang menurut orang itu menghina agama. Padahal Ahok beragama non muslim.

Keserampangan Ahok (bisa dibilang begitu) membuat public marah sehingga kebencian tak terelakkan. Itu yang kemudian dipakai oleh lawan sebagai peluru untuk menyerang Ahok. Isu yang melibatkan sentiment agama, politik identitas dipakai oleh partai politik untuk menggaet konstituen.

Politik identitas itu membuat polarisasi bertambah parah. Dua orang tetangga yang sebelumnya akur menjadi menjauh karena pilihan politik yang berbeda. Banyak terjadi juga dalam keluarga menjadi tak akur karena pilihan politik yang berbeda. Proses saling benci ini terjadi selama beberapa bulan melibatkan tidak saja orang dewasa yang punya hak pilih, tapi juga anak-anak yang sebenarnya tak punya hak pilih.

Pelibatan anak-anak soal ini berdampak sangat buruk. Karena dalam bawah sadar dia, perilaku membenci orang lain dirasa sebagai normal bagi sang anak. Sehingga jika dia masuk dalam waktu dewasa dan berhak memilih, maka dia akan menganggap bahwa akan membenci calon yang bukan pilihannya. Bahkan mungkin juga membenci para pendukung calon itu dengan alasan yang tak masuk akal.

Pasca Pilkada Jakarta 2017 kita dihadapkan dengan Pilpres 2019 . Ternyata pola yang sama pada Pilkada Jakarta juga terjadi pada Pilpres. Polarisasi dengan basis SARA itu diadopsi pada  Pilpres 2019 yang melibatkan Joko Widodo dan Makruf Amin, dan Prabowo -- Sandiaga Uno. Jika kita ingat saat itu beberapa tokoh agama juga ikut menggaduhkan suasana, selain mantan artis, Neno Warisman. Ia bersama beberapa orang dengan elemn agama bermunajat bersama kelompok 212.

Jika kita tengok media sosial, keadaannya lebih ngeri lagi. Kampanye hitam melibatkan isu-isu agama begitu kentara di internet terutama media media sosial yang dimiliki oleh personal. Karena dimiliki secara bebas oleh personal ini maka medsos kebanyakan liar dan menjijikkan.

Ucapan dan panggilan semacam cebong dan kampret sangat dominan di time line media. Malah ucapan itu juga sering terdengadalam keseharian waktu itu. Suasananya benar-benar tidak nyaman dan tidak kondusif.

Jika politisasi agama membuat Indonesia makin terancam dan terperosok dalam jurang perpecahan, maka sudah sebaiknya kita menghindarinya untuk Pilpres dan Pilkada serentak 2024 ini. Dengan begitu inshaalah bangsa kita menjadi aman dan damai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun