Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Sampai Komunikasi Kita Penuh dengan Caci Maki

18 Februari 2021   18:22 Diperbarui: 18 Februari 2021   18:27 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama duapuluh tahun ini lanskap komunikasi kita memang berubah, dari yang konvensional  dan berubah menjadi digital karena ditunjang karena teknologi. Teknologi inilah menjadi tulang punggung bagi banyak kemudahan dalam hal berkomunikasi pada masa sekarang.

Pada zaman generasi Koes Plus, seorang mungkin harus berkirim surat melalui pos atau berkabar melalui telegram jika ada yang mendesak. Jika harus menelepon dia menggunakan telepon rumah atau dia menggunakan warung telekomunikasi. Banyak jurnalis pada masa itu masih menggunakan fax untuk mengirimkan berita.

Keadaan itu berevolusi saat teknologi menemukan internet dan kemudian media sosial. Internet sangat memudahkan dalam mengirimkan konten baik teks maupun visual. Ini otomatis mengubah banyak hal dalam kehidupan. Orang hanya perlu mengirim sms via handphone dan kemudian WA ketika sistem itu ditemukan. Orang tidak perlu lagi menyimpan visual dalam kaset yang besar karena bisa disimpan dalam bentuk flashdisk dari ukuran terkecil sampai terbesar.

Itu memudahkan orang untuk berhubungan dengan orang lain, tak perlu menunggu kabarnya dalam beberapa hari seperti di zaman dulu. Orang  juga "dipaksa dan terpaksa" berfikir dengan cepat karena teknologi 'mendorong' kita ke arah itu.

Akibatnya memang panjang. Bukan saja keterbukaan informasi, namun juga kedangkalan cara berfikir karena banyak orang merasa harus segera memberikan reaksi tanpa memikirkan dampaknya lebih jauh. Konyolya beberapa platform yang tidak punya fasilitas koreksi sehingga informasi yang dikirim itu menyebar dengan cepat.

Dampak yang ditimbulkan juga relatif panjang dan dalam. Karena reaksi yang cenderung tidak bijak itu akibatnya banyak orang yang merasa tersinggung atau tidak menyukai reaksi tersebut. Ada juga yang merasa bahwa mereka harus membalasnya dengan caci maki juga. Dalam konteks politik hal itu menimbulkan"perang" yang tidak terelakkan. Mungkin kita ingat pada dua kali pilpres yang lalu, media sosial dipakai sebagai alat politik dan pencitraan, sehingga keterbelahan di kalangan masyarakat tidak terelakkan.

Inilah yang jadi tantangan bersama. Tentu saja kita tidak ingin kembali kepada masa Koes Plus dimana banyak hal memerlukan waktu yang cukup panjang. Tapi pada zaman itu adalah masa dimana keruntutan dan kejernihan berfikir terbentuk.orang benar-benar memikirkan apa yang harus dia tulis beserta efek yang timbul jika dia mengirimkan surat tersebut. Hal-hal itulah yang kurang bisa dipahami apalagi dilakukan oleh masa sekarang, sehingga caci maki begitu menumpuk di media sosial dan menimbulkan toksik (racun) bagi kita dan harus bisa perbaiki bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun