Mohon tunggu...
Victor Juntak
Victor Juntak Mohon Tunggu... Dosen - Simanjuntak

SIMANJUNTAK asal Kabupaten Tobasamosir suku Batak

Selanjutnya

Tutup

Money

Pengelolaan Industri Kelapa Sawit Melalui Asian Agri Sumber Daya Manusia Berkelanjutan

19 September 2019   22:59 Diperbarui: 19 September 2019   23:13 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Penerapan hilirisasi kelapa sawit menunjukkan perubahan positif bagi Indonesia. Jika pada tahun 2011 komposisi ekspor CPO terhadap produk turunan CPO sebesar 60:40, pada tahun 2013 komposisi tersebut berubah menjadi 40:60. Selain dilihat dari komposisi ekspor, penerapan hilirisasi juga berdampak positif pada diversifikasi produk. Jika pada tahun 2011 jumlah produk turunan CPO yang dihasilkan oleh Indonesia sebanyak 54 jenis, pada tahun 2014 jumlahnya bertambah menjadi sebanyak 169 jenis.

Meskipun sudah terjadi perubahan komposisi ekspor, perkembangan hilirisasi kelapa sawit Indonesia tidak secepat yang diharapkan karena belum dapat mengambil alih posisi Malaysia sebagai negara pengekspor produk turunan terbesar di dunia. Hal ini terlihat dari masih lebih rendahnya produktivitas industri hilir kelapa sawit di Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki komposisi ekspor 20:80.

Hal ini menunjukkan bahwa hilirisasi kelapa sawit Indonesia belum optimal. Studi literatur yang ada menunjukan belum ada yang membahas sisi politik hilirisasi kelapa sawit. Salah satu studi literatur yang membahas tentang pembangunan industri kelapa sawit adalah tulisan Rajah Rasiah dan Azmi Shahrin yang berjudul "Development of Palm Oil and Related Products in Malaysia and Indonesia".  Tulisan ini melihat aspek pembangunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia berdasarkan peran kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan bagaimana kebijakan tersebut serta institusi yang diciptakan dapat mempengaruhi perusahaan yang bergerak di bidang industri kelapa sawit. Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan kebijakan dan institusi yang digunakan untuk mendukung industri kelapa sawit di Indonesia masih terfragmentasi, lemah, dan belum efektif untuk merepresentasikan industri kelapa sawit. Pemerintah berorientasi pada kebijakan substitusi impor untuk menjaga agar harga minyak goreng stabil. Selain itu, beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah malah menjadi penghalang bagi pembangunan industri kelapa sawit di Indonesia.Karena belum ada yang membahas pembangunan industri kelapa sawit dari segi hilirisasi dengan menggunakan sudut pandang politik maka tulisan ini pun dibuat. Rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah apa faktor domestik yang menyebabkan perkembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia belum optimal. Untuk menjawab faktor penyebab domestik bagi perkembangan hilirisasi kelapa sawit di Indonesia yang belum optimal maka digunakan perspektif ekonomi politik institusionalis dengan melihat peran negara sebagai entrepreneur dan manager of conflicts dalam memfasilitasi perubahan struktural melalui hilirisasi.

Hilirisasi industri minyak sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan jangka panjang industri minyak sawit Indonesia. Tujuannya untuk menganalisis dukungan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat hirilisasi tersebut di Indonesia, yang akan menjadi industri strategis di masa mendatang, mengingat posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. Crude Palm Oil (CPO) merupakan produk industri kelapa sawit yang paling banyak diekspor dari tahun 2007 hingga 2011 dengan rata - rata ekspor senilai 8,33 milyar dolar atau setara dengan 52,2 % dari total ekspor produk kelapa sawit. Meskipun kontribusi ekspor CPO sebagai hasil produk industri hulu besar dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia tidak berpuas diri. Indonesia membuat program hilirisasi kelapa sawit untuk mengembangkan industri hilir kelapa sawit sehingga memiliki nilai tambah lebih dengan mengolah lebih lanjut CPO menjadi produk setengah jadi maupun jadi sehingga nilai tambah produk kelapa sawit dapat ditingkatkan. Produk setengah jadi dihasilkan oleh industri hilir dalam bentuk oleo-pangan seperti mentega, minyak goreng dan oleo-kimia seperti fatty acid, fatty alcohol, dll. Sedangkan produk jadi dihasilkan oleh industri hilir yang bergerak di bidang seperti olahan makanan, kosmetik, farmasi, dan pabrik logam.

Minyak kelapa sawit mendapatkan sentimen buruk akhir-akhir ini. Salah satu penyebabnya adalah rencana boikot yang dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit. Para kritikus pun mulai bertanya, apakah mungkin negara-negara lain akan melakukan hal serupa? Meski terdengar seperti suatu solusi yang mudah untuk dilakukan, namun, sebagaimana diungkapkan oleh International Union for the Conservation of  Nature dalam  laporannya, memboikot minyak kelapa sawit malah akan memperburuk masalah yang ada. Hal itu disebabkan meningkatnya kebutuhan masyarakat dunia terhadap minyak nabati, seiring dengan terjadinya pertumbuhan populasi. Menghilangkan salah satu jenis minyak nabati dari rantai pasok hanya akan menggeser permintaan ke jenis minyak nabati lainnya, dengan potensi konsekuensi yang lebih buruk terhadap lingkungan. Kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati yang paling produktif dan efisien dalam hal penggunaan lahan," ujar Bernard Riedo, Direktur Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri.

Untuk menghasilkan volume produksi minyak yang sama, tanaman penghasil minyak nabati lainnya seperti kedelai, rapeseed dan bunga matahari membutuhkan lahan 6 kali lebih luas dibandingkan dengan kelapa sawit. Dengan demikian, jika ingin mengganti minyak kelapa sawit, maka potensi untuk terjadinya deforestasi besar-besaran semakin terbuka lebar untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia melalui tanaman-tanaman tersebut," ujar Bernard.

Sebagai solusi, menurutnya, adalah bukan mengganti minyak kelapa sawit, namun bagaimana membuat industri ini berkelanjutan. Beberapa badan sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang mana Asian Agri telah bergabung dalam keanggotaannya sejak tahun 2006, menyediakan pondasi yang kuat untuk mendukung terciptanya hal tersebut, seperti larangan deforestasi, perlindungan terhadap lahan gambut dan aturan yang jelas terhadap hak asasi manusia (HAM). Bahkan, pada November 2018 tercatat lebih dari 4.000 anggota meliputi perusahaan, pemerintah, akademisi dan  lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung penambahan standar baru, yang disambut baik oleh WWF sebagai "langkah maju yang signifikan". 

Tantangannya, jelas Bernard, bahwa RSPO adalah bentuk sertifikasi yang bersifat sukarela. "Salah satu masalahnya adalah penerapan praktik keberlanjutan yang tidak merata. Ada perusahaan yang secara serius menerapkan praktik pengelolaan yang berkelanjutan, namun di sisi lain ada juga yang tidak peduli dan tidak melakukan. Disinilah dukungan dari Pemerintah sangat dibutuhkan.

Indonesia juga mendukung hal ini melalui keberadaan sertifikasi ISPO, yang bersifat wajib bagi para pelaku industri. Hal inilah yang diperlukan untuk meningkatkan standar berkelanjutan pengelolaan kelapa sawit.

Pemanfaatan Teknologi Blockchain untuk Minyak Kelapa Sawit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun