Mohon tunggu...
Vicko Widianto
Vicko Widianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hoby dengan kesenian alat musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Politik Hukum Islam dalam Pembentukan UU Perkawinan

23 Oktober 2022   15:56 Diperbarui: 23 Oktober 2022   15:59 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum perkawinan yang berlaku sebelum dibentuknya perundang-undangan perkawinan diantaranya, bagi orang-orang Indonesia asli yang bergama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi dengan hukum adat. Bagi orang-orang Indonesia lainya yang beragama selain islam berlaku hukum adat. 

Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie christen Indoneia (HOCI) dalam Staatsblad 1933 No.74. Orang-orang timur asing, Eropa dan orang Indonesia keturunan Cina berlaku hukum perdata Burgerlijk Wetboek.

Isu- isu yang terjadi dalam perkawinan sebelum adanya undang-undang tentang perkawinan diantaranya, adanya praktek poligami yang semena-mena, penggunaan sumber hukum perkawinan yang masih berbeda-beda, adanya perkawinan anak, dan perkawinan secara paksa. Kesemuanya ini merupakan permasalahan yang terjadi di masyarakat yang menjadi alasan dibentuknya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Selanjutnya dalam sejarah perjalanan dibentuknya perundang-undangan perkawinan tidak lepas dari campurtangan oraganisasi perempuan pada saat itu. Oraganisasi tersebut diantaranya, GERWANI dan PERWARI. Berkat perjuangan organisasi perempuan dan juga masyarakat akhirnya tangga 31 Juli 1973 pemerintah mengajukan RUU perkawinan ke DPR. Perumusan dan pembahasan perundang-undangan perkawinan berjalan kurang lebih selama tujuh bulan. Kemudian pada tanggal 2 Januari 1974 presiden mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Tujuan adanya perundang-undangan perkawinan diantaranya yaitu unifikasi hukum perkawinan, peningkatan status wanita, respon terhadap pembaruan hukum dan menyesuaikan perkembangan zaman. 

Dengan adanya aturan tentang perkawinan diharapkan praktik tentang nikah anak, poligami, dan hal-hal yang merendahkan posisi peremuan dalam perkawinan dapat teratasi. Salah satu contohnya dengan adanya pasal tentang poligami maka suami tidak dengan mudah melakukan poligami secara bebas dan mudah, karena dalam undang-undang perkawinan terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi suami yang akan dipoligami dan harus melalui izin dari lembaga pengadilan, dengan begitu hak-hak perempuan dalam keluarga lebih terlindungi.

Dari pembahasan dan analisis yang telah dipaparkan di atas, maka kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa ada ketentuan-ketentuan hukum dalam UU Perkawinan (UU No. 1/1974) yang menimbulkan konflik, yaitu: Pasal 2 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan (2), serta Pasal 42 dan 43 ayat (1). Sedangkan ketentuan-ketentuan hukum di dalam UU Peradilan Agama yang bisa menimbulkan konflik adalah Pasal 50 UU No. 7/1989 dan juga Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No 3/2006 (sebagai amandemen dari UU No. 7/1989).

Ketentuan -ketentuan yang menimbulkan konflik hukum baik di dalam UU Perkawinan maupun UU Peradilan Agama tersebut disebabkan adanya faktor politik hukum pemerintah yang masih menganggap hukum Islam sebagai hukum yang subordinat dibanding dengan hukum Barat dan hukum Adat. 

Keberadaan hukum islam di Indonesia masih dianggap sebagai instrumen belaka dalam rangka menyusun hukum nasional, bukan sebagai hukum murni yang hidup dan berlaku di masyarakat Muslim Indonesia. 

Sikap pemerintah Negara Indonesia yang merdeka seperti itu merupakan warisan dari sikap pemerintah kolonial Belanda dalam memperlakukan hukum Islam sebagai hukum yang hanya bisa diterima jika sudah menjadi bagian dari adat kebiasaan masyarakat (hukum adat), yang dikenal dengan kebijakan receptie. 

Hal ini terlihat dari adanya pertentangan dua kubu dalam memperlakukan hukum Islam, yaitu kubu yang sama dengan masalah ideologi negara: Nasionalis-Sekuler yang lebih memilih unifikasi hukum, dan Nasionalis-islam yang menghendaki adanya kebijakan pluralitas hukum. Kubu yang pertama dalam sejarahnya selalu menguasai kekuasaan Negara, baik legislatif maupun eksekutif sehingga corak hukum yang berlaku, termasuk hukum Islam, mengikuti ide-ide unifikasi secara nasional, sebagaimana terlihat dalam UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun