Mohon tunggu...
Vian djawa
Vian djawa Mohon Tunggu... Buruh - Bajawa - Flores - NTT

Berteriaklah Dengan Lembut, Dalam Tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Tuhan, Cinta, dan Kehidupan

30 Juli 2019   20:45 Diperbarui: 30 Juli 2019   20:58 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketiadaan adalah kematian bagi saya, tempat dimana segala macam rasa akan sirna. Kematian bagi saya tidaklah sakit, kehidupan sayalah yang sakit. Tetapi jika saya mengalah pada kesakitan, maka akan menghantarkan saya pada ketiadaan. Karena saya selalu percaya : saya sakit, maka saya hidup"

Rangkaian kalimat diatas seolah-olah memberikan gambaran tentang kehidupan saya yang hanya berkutat pada ketiadaan, kesakitan, lalu berharap datangnya kematian, semata-mata hanya untuk meleburkan segala macam rasa.

Hidup terasa hambar, seperti lautan tanpa ombak, seperti langit tanpa hujan, seperti dunia tanpa peradaban.
Mimpi seakan-akan tidak terbeli, do'a seakan-akan tidak terjawab.
Tuhan seperti enggan membuka mata, bahkan setanpun geli untuk mendekat.

Lalu "cinta'?....

Entahlah, saya dan cinta hidup seperti sepasang kunci dan gembok pada pintu yang tidak pernah ada, pun bahagia yang tercipta terkesan berpura-pura.
Cinta ibarat sebuah rumah pekat tanpa lampu, lalu saya datang bersambut gelap dan berharap terang, dengan suara bak jangkrik liar didepan pintunya.
Bukan apa-apa, hanya sekedar menyuarakan mimpi pada diamnya yang begitu batu.

Tapi tidak!
Semua ungkapan diatas yang bernuansa keluh, hanyalah kata-kata.
Saya bukan pecundang yang menyangkal takdir, atau bahkan lebih sadis dari sang Petrus yang menyangkal anak Tuhan.
Saya selalu menikmati setiap seduhan di tiap-tiap inci perjalanan hidup saya, atau di tiap-tiap jalan setapak kehidupan yang Tuhan sajikan, seberapapun pahitnya, saya jilat habis hingga ke ampas.

Terimakasih untuk "Tuhan"

Kadang hidup saya penuh dengan lelucon, saya dan takdir kerap larut dalam permainan kehidupan, sebut saja salah satunya permainan "dadu bermata enam"
Setiap kali dadu itu dilempar, takdir selalu meminta angka delapan.

Ah masa bodoh!

Tetap saja saya beri angka enam.
Tapi sialnya, aura sinting kadang merambah pada otak dan jiwa saya.
Sampai-sampai harus saya congkel kedua bola mata saya untuk menggenapi tuntutan takdir yang meminta angka delapan.
Karena saya percaya, "saya sakit maka saya hidup"

Sebagai pembuktian sederhana, saya masih duduk manis disini, bernapas dengan baik layaknya manusia lain ciptaanNya, dengan sedikit kopi pahit, dengan jari jemari yang tetap indah menari melukis kata demi kata dalam blog kehidupan, entah akan dibaca atau akan jadi sampah, itu tidak akan jadi masalah, karena saya menikmatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun