Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bimbingan Nikah di Bawah 17 Tahun Lebih Efektif dari Sertifikat

4 Desember 2019   11:38 Diperbarui: 4 Desember 2019   19:35 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kursus pranikah selama ini dipandang kurang efektif oleh Menteri Agama karena durasinya cuma dua hari. Padahal anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan Bimwin sebanyak 2 juta pasangan calon pengantin membutuhkan Rp800 miliar per tahun. Itupun masih jauh dari target jumlah catin yang ikut pelaksanaan bimwin.

Maka perlu terobosan, akhirnya  Kemenag juga tengah menyiapkan website Bimwin dan perlu disosialisasikan. Karena bisa dikunjungi oleh masyarakat setiap waktu dan di mana saja. Pada website Bimwin tersebut terdapat menu-menu berupa materi bimbingan (dalam bentuk buku dan artikel) dan menu curhat bagi siapa saja yang ingin curhat masalah rumah tangga, hukum perkawinan, masalah keuangan keluarga, dan kesehatan. 

Proyek ini diinisiasi dan dibuat oleh Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama dan mendapat respon positif dari Kemenko PMK. Sekarang dalam proses pengembangan karena akan diperuntukkan buat semua umat beragama dan bekerja sama dengan Kementerian/Lembaga terkait seperti BKKBN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan lain-lain.

Namun kalau kita kritisi, bimbingan nikah dan sertifikat pernikahan adalah dua hal yang berbeda.  Bimbingan nikah itu sifatnya penawaran yang dianjurkan, sedangkan sertifikat bimbingan perkawinan itu sifatnya tanda pernah mengikuti bimbingan. Sampai disitu tidak ada soal. Pertanyaannya apakah sertifikat itu syarat yang diwajibkan? Hal ini sudah dijawab tidak wajib. Tapi jika sertifikat itu sebagai syarat dikatakan tidak wajib. Bukankah hal itu paradoks?. Mungkin perlu disebut syarat yang dianjurkan. 

Apabila program Bimwin ini dilaksanakan secara nasional dan untuk semua warga Negara tanpa membedakan agama, maka sudah bisa dipastikan akan membutuhkan anggaran yang sangat besar. Sebab selama ini untuk menyasar dua juta catin yang beragama Islam saja, Kemenag kewalahan. 

Apalagi jika hanya mengharapkan anggaran dari pendapatan negara bukan pajak yang berasal dari pencatatan peristiwa nikah atau rujuk di KUA yang hanya menghasilkan Rp600 miliar per tahun, di mana dana tersebut juga harus dibagi kepada kegiatan selain Bimwin.

Selain anggaran, tentu yang harus dirumuskan adalah mengenai durasi waktu pembekalan. Jika menilik waktu yang disampaikan oleh Menko PMK selama tiga bulan, tentu harus dipikirkan ulang. Sebab selama ini yang dilakukan Kemenag selama dua hari berturut-turut sulit dipenuhi oleh calon suami istri.

Lagi pula, jika dilaksanakan sampai tiga bulan, maka hal itu akan melanggar prinsip pelayanan prima yang mengandaikan efektifitas, tidak bertele-tele, cepat, mempermudah dan menyederhanakan pelayanan.

yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana membuat masyarakat merasa membutuhkan bimbingan perkawinan baik pra nikah, usia masa nikah, dan masa nikah agar keluarga mereka berjalan harmonis dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginan. Jika masyarakat sudah merasa butuh, maka skema pembiayaan penyelenggaraan Bimwin bisa dilakukan secara patungan.

Jika dari segi pembiayaan masih sulit dilakukan, dan masalah bertele-telenya durasi bimwin, ada baiknya mempertimbangkan materi bimbingan perkawinan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah di tingkat akhir sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan di perguruan tinggi semester akhir. Langkah ini cukup efektif. Apalagi usia dibawah 17 tahun usia yang rawan dengan gejolak emosi. perlu pembinaan yang berkelanjutan sejak dini.  Guru perlu memperkenalkan hal-hal yang terkait dengan perkawinan yang tentu nanti materinya dikemas dalam formula yang tepat.

Karena  menikah itu bukan hanya kebutuhan sosial budaya, tapi juga dorongan kebutuhan biologis yang berdampak negatif bila ditunda-tunda. Sekalipun pernikahan itu bisa beresiko pada perceraian. Tetap saja menunda-menunda pernikahan bagi yang terdesak bertentangan dengan sunnatullah. Setiap perlawanan terhadap sunnatullah adalah malapetaka. Maka sebelum tiba masanya desakan biologis tersebut. Perlu dibekali sejak sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun