Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai aneka bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Gejolak Batin

23 Juni 2022   18:48 Diperbarui: 23 Juni 2022   18:51 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Basah kuyup ku diguyur penyesalan
Meniti harapan yang islam iman
Sampai kapan aku harus diam-diam
Hingga saat aku memang jadi diam
Orang bilang tuhan maha melihat, tak bisalah kau maksiat
memang yakin ku tak bisa bersembunyi dari tuhan
Tapi tuhan, tolonglah hambamu ini wahai sang kasih
Aku tak berdaya, aku dikutuk jadi berhala oleh lawaamah
Aku digadangkan jadi aktor,  musisi, cendekiawan di ruang ilusi
Siapapun itu di balik tembok, aku minta tolong, setolong-tolongnya
Aku benar-benar minta tolong kalian, wahai para muslimin
Para Mu'minin...
Para Sholihin...
Para Muttaqiin...

Tolonglah aku...
Lautan bumi di tubuhku goncang meruntuhkan intelektual
Spiritual bagaikan istana pasir yang roboh ditetes air
Fakir sekali jiwa ini, hamba yang lemah berlagak ramayana
Sesekali kupikirkan, bagaimana nasibku di alam baka kelak
Terlihat sang malaikat kubur melotot marah berdenyaran
Mengibatkan pentung yang menggelegar ketakutan
Membentak dengan suara lantang tubuh terpaku gentar
Bagaikan auman kawanan singa aku yang ditengah
Kucoba membuka lembaran putih dari dalam tasku
Tertulis kata-kata mulia harapan taqwa
Akan tetapi, memang benar kata pak kiai...
Sekali terjerat selamanya terjerat

Lembaran putih-pun tiba-tiba menjadi kertas hitam yang tak dapat kutulis apa
 Media sosial yang menghubungkan rahmi, bagiku malapetaka
 Sebaran foto-foto tak tau malu, bergantian mengotori otak
 Dan ternyata tujuan mereka, malah kotorkan kepala dan dada
 Tak sadarkah anda sekalian?

Inikah yang disebut dengan pendosa
Ohh rasanya sesal sekali, benar-benar
 Tahun-tahun berganti, bulan-bulan berguguran
 Rasanya, aku memang bercucuran...
Air mata darah...
Orang tua tak berdaya atas nasihat-nasihatnya
Memang, aku sekeras batu
Selemah lumpur
Si pecundang kelas bawah
Maafkan aku, Ayah ibu...
Anakmu tak ada ubahnya dari zaman-zaman yang dulu
Zaman yang begitu indah warna putih dan merah
Sekarang, dengan warna pun aku buta
Bagaiman kabar adik?, semoga tak lepas dari kendali-mu wahai ayah, wahai ibu
Semoga cahaya terang sudah mengitari rumah dan Lontar, sebelum tahun 2025
Amiiin...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun