Mohon tunggu...
Vera Shinta
Vera Shinta Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community' (KBC)

Menulis adalah pelarian emosi paling sexy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebahagiaan Milik Mereka

24 September 2020   19:10 Diperbarui: 24 September 2020   19:17 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secangkir kopi menemani malamnya yang sepi, di teras rumah mungil menatap remang malam yang tidak berpihak padanya.

"Sedang apa kau di sana Bram," lirih suara Ratih bertanya pada angin malam.

Tampak kegelisahan diwajahnya, sesekali di lihatnya handphone di samping cangkir kopi. Mengharap ada kabar hangat dari Bram, tapi seperti biasa hanyalah harapan sia-sia.

Ratih hanya bisa berkali-kali menghembuskan nafas panjang, antara menahan kecewa dan emosi yang menyelimutinya. Dia harus selalu sadar diri akan posisinya hanya menjadi orang kedua dalam kehidupan rumah tangga Bram.

Setahun sudah hubungannya dengan Bram, teman kantornya yang sudah beristri dengan 2 orang anak tinggal di kampung. Di ibukota ini Bram bekerja, dulu mengontrak di dekat kantornya dan sekarang tinggal bersama Ratih di sebuah perumahan mungil yang mereka beli bersama.

Keputusan hidup bersama mereka jalani tanpa pernikahan karena Ratih tidak berani mengatakan pada orang tuanya yang tinggal di salah satu kota di Jawa. Dia mencintai Bram tanpa rencana, setelah 4 tahun bersama dalam satu kantor ternyata benih cinta itu muncul setahun yang lalu.

Tanpa perjanjian mereka nyaman saling berbagi cerita suka dan duka hingga akhirnya berlanjut pada hubungan yang lebih jauh lagi. Setelah sebulan hubungan itu akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama layaknya suami istri.

Suara ringtone telepon berdering dari handphonenya, terkejut Ratih melihat nama Bram muncul disana.

"Halo, lagi ngapain moms," sapa Bram di ujung sana.

Ratih masih diam termangu, dadanya sesak oleh emosi yang memuncak.

"Duduk aja di teras, ada apa, tumben di rumah bisa telepon," ucap Ratih datar.

"Iya nih aku lagi ada urusan keluar jadi bisa telepon kamu, jangan sedih gitu dong kan aku cuma satu minggu di rumah selebihnya buat kamu," rayu Bram dengan nada hangat.

Ratih masih enggan bersuara, "iya gapapa toh memang mereka lebih berhak mendapat kebahagiaan denganmu".

"Kamu juga berhak bahagia denganku moms, kali ini sebentar saja kamu sendiri dulu ya... Kan aku pulang juga gak setiap bulan," lanjut Bram.

Ratih hanya diam melihat bulan yang sendiri kesepian seperti dirinya.

"Ya udah aku tutup dulu ya, dua hari lagi juga aku balik," ucap Bram sambil menutup obrolan tanpa menunggu jawaban Ratih.

Bram termangu di sebuah sudut rumah makan, di kejauhan istri dan dua anaknya tengah bercengkerama sambil menanti hidangan yang dipesannya datang. Dia tak bisa menolak perasaannya pada Ratih namun juga tak ingin menyakiti Hani, istrinya.

Bram hanya bisa mengharap yang terbaik untuk dirinya dan semua orang yang dicintainya tanpa saling menyakiti, walau itu tak mungkin bisa sesuai harapan. Bagaimanapun pasti ada hati yang tersakiti dari kedua perempuannya itu.

Ratih sudah agak lega mendengar suara Bram, dia sadar kebahagiaan itu memang milik mereka, istri dan anak-anak Bram. Apakah mungkin dia harus bisa menguatkan hatinya untuk berpisah dengan Bram, resign dari kantornya dan pulang ke kampung halaman.

Sepertinya bintang-bintang telah membantu menyinari hati Ratih, walau teramat sakit namun sekarang saatnya dia berhijrah menjadi lebih baik lagi. Tak apa sekali ini merasakan sakit yang teramat dalam namun tidak lagi menyakiti mereka yang ada di sisi Bram.

Vera Shinta KBC-26

Kombes Brebes Jateng

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun