Mohon tunggu...
veni Wp
veni Wp Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang yang biasa saja. berjalan di atas kaki sendiri

Menjadi Manusia yang Seutuhnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Larilah

22 Juli 2019   10:29 Diperbarui: 22 Juli 2019   10:38 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bahkan kau tidak mengenal nama aku." dia masih tidak bergeming. "Aku Boby." Shani begitu menikmati dinginnya malam. Aku sudah mulai menggigil. Dingin telah membuat aku lemah. "Apa kamu tidak dingin? Aku bahkan sudah menggigil."

"Sudah lemah dalam masalah, sekarang kamu lemah soal cuaca." ya bagus kau menatap aku. Tidak akan aku lepaskan. "Kau tidak tahu masalah yang sedang aku hadapi, manusia memang suka berkomentar tanpa mengetahui faktanya." tangannya sangat lembut. Aku menggenggam tangannya menyalurkan kehangatan yang ada dalam dirinya.

"Faktanya memang kamu lemah, masalah itu akan terus mengejar kamu, By, kamu harus sadar itu." dia tidak melepaskan genggaman tanganku. "Dengan kamu menghindar, semuanya tidak akan selesai. 

Ceritalah kalau kamu mau." shani berdiri dengan tegas. Menantang kegelapan malam dan menikmati keindahan bintang. Keberanian membuatnya mendapatkan keindahan yang memang patut dia dapatkan.

"Aku tidak tahu harus berbicara apa." dia hanya mengangguk saja dan masuk ke dalam rumah. Aku tetap setia duduk di kursi kayu depan rumahnya. "Masuk, kamu ingin membuat aku dan kakek terlihat seperti orang jahat? Membiarkan manusia lemah mati karena kedinginan?" sabar By, dia memang gadis lain dari lainnya. Kelembutan yang dibalut ketegasan.

Aku terus berlari dalam gelapnya malam. Tidak ada cahaya untuk menerangi jalanku. Terlihat mereka terus mengejar dan meneriakan namaku. Nafasku sudah tidak beraturan lagi, keringat terus menetes seperti darah yang mengalir. Jantung dipaksa terus bekerja. 

Di depan sana ada cahaya, aku akan sampai kesana, dan semua telah berakhir. Namun, masalah itu mampu meraih tanganku dan menarik kembali ke belakang. Menjauh dari cahaya yang membuat aku tenang.

"Lepaskan aku, jangan memaksa semua kehendak kalian, lepaskan..." aku berteriak berharap mereka melepaskannya. "Hey, kamu kenapa? Ayo bangun By," tiba-tiba ada cahaya lain yang mampu membuat aku berani menghadapi gelapnya malam. 

"By, bangun. Sudah pagi jangan teriak-teriak." Shani terlihat dengan jelas saat aku membuka mata. Keringat membasahi bajuku. "Kamu habis maraton apa? Tidur aja sampai baju basah gitu? Atau dia menemui kamu dalam mimpi?" aku masih mengatur nafas dan mengumpulkan nyawa. Tidak menjawab pertanyaanya. "Kau begitu cantik pagi ini," ucapku seadanya. Cahaya pagi yang mengingatkan akan cahaya dalam malam. Cahaya itu menemani aku dalam menghadapinya.

Shani tidak membalas ucapanku. Dia melangkah keluar dari rumah. Mimpi itu begitu nyata. Dia kini terlihat di kaca jendela menghalangi sinar mentari pagi. Aku segera pergi dari kamar. Dunia begitu tidak ingin aku hidup damai.

"Apa aku tidak ditakdirkan untuk lahir?" aku membasuh muka dan menatap diriku sendiri dalam cermin. Menatap seorang yang tidak tahu diri. "Kau, kau sangatlah lemah, kau telah berani melakukan tapi tidak ingin bertanggung jawab?" dia berbicara kepadaku. "Bagaimana aku bertanggung jawab? Itu dilakukan tanpa sengaja!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun