Mohon tunggu...
Ni Nyoman Vena Riana Dewi
Ni Nyoman Vena Riana Dewi Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Currently studying Communication Science. Food and beauty enthusiast. Interested in Journalism. :) Email: venariana.dewi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Perjuangkan Kesetaraan, Begini Kisah Feminisme ala Ainun dan Enola

15 Desember 2020   11:49 Diperbarui: 15 Desember 2020   12:52 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan masa kini tidak perlu khawatir lagi untuk mengenyam pendidikan dan bekerja. Berbeda ceritanya jika mereka harus hidup di tahun 1890-1960an. Pada masa itu, perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan dan hanya bisa berdiam diri, memasak dan mengurus rumah tangga saja. 

Hal ini digambarkan jelas dalam film Habibie Ainun 3 (2019) dan Enola Holmes (2020). Ainun (Maudy Ayunda) dan Enola (Millie Bobby Brown) sama-sama harus berjuang menghadapi diskriminasi terhadap wanita dengan memperjuangkan hak-hak mereka pada masanya.

Isu Komunikasi Massa dalam Film

Dalam suatu film, terdapat isu komunikasi dalam penayangannya. Sang sutradara berusaha mengemas flm mereka dengan tendensi masing-masing, entah itu fungsi hiburan, fungsi edukasi, fungsi informatif maupun fungsi persuasif terhadap penontonnya.

Seperti film Habibie Ainun 3 (2019) dan Enola Holmes (2020) yang sama-sama membahas tentang perjuangan kesetaraan wanita pada jaman dahulu. Mengambil latar belakang tahun 1960an di Indonesia dan 1880an di Inggris, hal ini mengingatkan bahwa pada kala itu  Ainun dan Enola belum bisa sebebas sekarang untuk mengenyam pendidikan dan mendapatkan haknya sebagai seorang wanita. Hal ini dikarenakan, pada masa itu patriarki masih sangat mendominasi dan wanita dipandang rendah oleh laki-laki.

Baksin (2003) mengatakan bahwa film adalah bentuk komunikasi massa yang dikelola menjadi suatu komoditi. Terdapat produser, pemain, seni rupa, seni music, teater dan lainnya yang turut mendukung film tersebut. Seluruh unsur ini tergabung menjadi komunikator dan bertindak menjadi agen transformasi budaya.

Kali ini, kita akan membandingkan dua film berbeda dengan satu teori feminisme menggunakan metodologi analisis teks. Analisis teks yaitu mengamati sebuah pesan teks berdasarkan apa yang dapat didengar, dirasakan, dan dibaca. Komunikasi dapat dilihat sebagai bentuk pengiriman pesan statis. (Hendriyani, 2017).

Mengingat film Habibie Ainun 3 dan Enola Holmes sama-sama mengangkat bagaimana perjuangan wanita untuk mendapatkan kesetaraan di jamannya, maka kita akan melihat bagaimana pesan feminisme yang ingin disampaikan oleh masing-masing sutradara dari kedua film ini.

Feminisme

Feminisme berasal dari bahasa latin, yakni Femina yang artinya perempuan. Secara harfiah, femina memiliki makna having the qualities of woman, yakni bagaimana kualitas seorang wanita. 

Menurut Weedon (Suwastini, 2013) feminisme merupakan gerakan sosial yang ingin mengubah status perempuan dalam mayarakat patriarkis. Feminism ingin menuntut keadilan antara kaum perempuan dan kaum pria.

Isu Feminisme dalam film Habibie Ainun 3

Habibie Ainun 3 (2019) mengambil sudut pandang masa muda Ainun (Maudy Ayunda). Mengambil latar tahun 1950-an, diceritakan bahwa pada kala itu belum ada kesetaraan antara pria dan wanita. 

Para perempuan hanya diperbolehkan memasak dan mengurus rumah tangga saja. Tidak lazim bagi mereka untuk mengemban pendidikan tinggi dan bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun