Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyibak Nilai Persaudaraan dalam Tradisi "Kumpul Kope Hae Reba" Manggarai

4 Maret 2021   17:41 Diperbarui: 5 Maret 2021   21:08 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Belakangan ini, Persaudaraan di tanah air sedang dinodai oleh kemunculan beberapa gerakan religius fundamentalis. Gerakan semacam ini cenderung mengusung anti pancasila dan terang-terangan menyerukan superioritas kebenaran keyakinannya. Mereka meyakini bahwa satu-satunya kebenaran mutlak ialah apa yang mereka yakini.

Kekerasan atas nama agama pun menjadi berita yang lazim di Sosial Media. Membiarkan gerakan semacam ini bertumbuh sama halnya menggali kuburan bagi kematian NKRI. Keberadaan organisasi semacam ini membuat kelompok yang satu menaruh benci dan curiga terhadap kelompok yang lain, etnis yang satu menaruh dendam dan iri hati terhadap kelompok yang lain. Persaudaraan NKRI sedang diciderai. 

Harus diakui bahwa terkadang gerakan fundamentalis ini dirancang oleh elite politik demi maksud politik tertentu. Isu agama dimanfaatkan untuk melengser kubu oposisi politik. kenyataan ini merusak persaudaraan bangsa Indonesia yang note bene memiliki keberagaman keyakinan religius sekaligus kekayaan kultural.


Dalam tulisan ini, penulis berupaya menggali semangat persaudaraan yang termuat dalam salah satu kekayaan budaya Nusantara, yaitu dalam tradisi Kumpul Kope Hae Reba Manggarai. Secara harafiah, kumpul kope hae reba berarti “mengumpulkan parang anak muda”. Parang dalam kebanyakan  kebudayaan sering kali digunakan untuk membunuh musuh dalam perang. Dalam kumpul kope hae reba Manggarai, parang yang memang bisa digunakan dalam perang, ternyata memiliki sisi yang lain sama sekali. 

Parang dimaknai sebagai benda yang luhur dan mulia oleh orang Manggarai. Kumpul kope (kumpul parang) malah merupakan bahasa simbolis yang merujuk pada dukungan kaum lelaki terhadap sahabatnya (hae reba) yang akan membangun kehidupan baru (kaeng kilo) dengan pasangannya. Dengan kata lain, kumpul kope adalah ungkapan simbolis dari pengumpulan kekuatan kaum lelaki (hae reba) untuk mendukung kehidupan berkeluarga sahabatnya. Dikatakan mendukung kehidupan, karena membangun  keluarga tidak lain adalah usaha mencintai kehidupan itu sendiri melalui penerusan keturunan. Hal ini tentu saja berbeda dengan pengumpulan massa yang bertujuan memisahkan diri dari pancasila dan keutuhan NKRI. Massa yang terkumpul malah menjadi kekuatan yang menciderai kehidupan.

Memang, persaudaraan dalam konteks tradisi kumpul kope hae reba terbatas pada persaudaraan kaum lelaki. Namun, yang ingin kita lihat ialah motif keterlibatan persaudaraannya yang tidak berdasarkan keyakianan religius dan kesamaan genealogis tertentu,serta tidak demi mendapatkan kepuasan pribadi semata, melainkan untuk mendukung sahabat yang akan membangun keluarga baru. Itu pointnya. 

Jadi, konteksnya ialah dalam persiapan pernikahan. Bahwa dukungan yang tanpa mengharapkan imbalan uang, popularitas, dan keistimewaan kepada yang lain adalah nilai yang digali dari tradisi kumpul kope hae reba Manggarai. Persaudaraan sejatinya demikian, kita bersaudara dan bersatu bukan pertama-tama karena satu keturunan, satu suku atau karena aku dipuaskan oleh yang lain, melainkan karena kita semua adalah sama, yaitu manusia. Humanitas selalu mengatasi identitas etnis, politis, genealogis dst.


Persaudaraan dalam Budaya Manggarai


Kata “saudara” dalam pemahaman orang Manggarai tidak terbatas pada keluarga kandung (ase kae). Lebih dari itu, yang disebut “saudara” ialah siapapun, sejauh ia hadir sebagai pribadi, termasuk alam. Pribadi di sini bukan dalam arti persatuan antara jiwa dan badan sebagaimana yang dipahami oleh Plato, melainkan lebih pada ‘kehadiran yang mencintai’. Pemahaman ini tampak dalam beberapa penyebutan, misalnya ase kae (keluarga kandung), pa’ang ngaung (tetangga),ata pali sina (para leluhur) dan hae reba (kenalan\teman). Ase kae ialah keluarga kandung yang dapat diketahui melalui urutan genealogis. Pa’ang ngaung mengacu pada tetangga, entah tetangga rumah atau kampung. Dan, hae reba ialah para kenalan, termasuk sahabat atau teman. Dalam pemahaman orang Manggarai, yang disebut ase kae, pa'ng ngaung, dan hae reba selalu adalah kehadiran yang mencintai. Kehadiran yang  menciderai dengan demikian bukan bukanlah kehadiran saudara.
Seorang lelaki Manggarai akan memanggil perempeuan yang belum dikenalinya dengan sebutan enu (Nona=panggilan paling santun). Sebaliknya, seorang perempuan Manggarai akan memenggil lelaki yang belum dikenalinya dengan sebutan nana(panggilan paling santun untuk seorang lelaki). Orang Manggarai juga mempunyai tradisi yang amat indah perihal kehadiran orang asing (meka). Sejauh meka hadir sebagai pribadi yang mencintai ia adalah saudara. Hal ini dapat dilihat misalnya melalui tradisi tiba meka (terima tamu) dan kebiasaan lejong (bertamu). Menarik bahwa dalam kebiasaan lejong, orang Manggarai bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekadar bercerita, sharing, dan tertawa ria bersama pemilik rumah (ata mori mbaru). Lejong pun tidak terbatas pada keluarga kandung, tetapi siapun boleh lejong. Singkat kata, persaudaraan dalam kebudayaan Manggarai dipahami dengan sangat luas. Saudara adalah siapapun yang mencintai.


Konteks Tradisi Kumpul Kope Hae Reba Manggarai

Konteks tradisi kumpul kope sebenarnya ialah persiapan pernikahan. Hanya kaum lelaki (hae reba) yang terlibat dalam pengumpulan dana. Kaum perempuan terlibat dalam mempersiapkan dan menyediakan konsumsi. Seorang lelaki Manggarai yang hendak meminang seorang gadis akan menyampaikan kepada orang tua dan keluarga besarnya perihal rencananya tersebut. Selain persiapan batin, tentu saja persiapan finansial juga menjadi perhatian sebelum peminangan. Dalam budaya Manggarai, persiapan finansial perlu untuk mengantisipasi jumlah belis dan juga biaya resepsi pernikahan. Dalam rangka persiapan itu, tradisi kumpul kope dilakukan. Kumpul kope itu sendiri secara kasat mata lebih pada dukungan dalam bentuk materi, namun sebenarnya maksud kumpul kope lebih dari itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun