Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Inkulturasi dan Penyebaran Iman Kristiani

2 Februari 2021   19:27 Diperbarui: 2 Februari 2021   19:43 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Upaya penyebaran iman Kristiani pernah dituduh sebagai usaha pemaksaan keyakinan atas bangsa-bangsa. Tuduhan ini berangkat dari kenyataan bahwa penyebaran iman Kristiani bersamaan dengan kolonisasi bangsa Eropa atas beberapa negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuduhan ini diperkuat oleh semboyan misionaris Kristiani yang provokatif, yakni "Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan" (Extra Ecclessiam Nulla Salus). Semboyan ini tidak lain adalah konsekuensi teologis dari salah satu dogma Kristiani yang mendeklarasikan Kristus sebagai penyelamat universal. Yang tidak beriman Kristiani dengan demikian tidak dapat diselamatkan.


Seruan ini menjadi problematis ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa yang sama sekali tidak mengenal Kristus. Bangsa yang dimaksud di sini tidak lain adalah bangsa-bangsa yang menjadi destinasi misi Kristiani. Bangsa-bangsa ini sama sekali tidak pernah mendengar tokoh heroik yang bernama Kristus. Tidak mungkin mereka beriman tanpa mengenal-Nya. Seruan penyemangat upaya ekspansi iman Kristiani pun menjadi problematis. Dapatkah mereka yang tak bersalah tidak dapat diselamatkan hanya lantaran tidak mengenal Kristus?


Untuk menjawab pertanyaan problematis ini, kita perlu memahami konteks pernyataan "di luar gereja tidak ada keselamatan". Pada dasarnya, pernyataan ini sama sekali tidak bermaksud mengklaim bahwa mereka yang di luar Kristianitas tidak dapat diselamatkan. Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini sebetulnya berkaitan dengan persoalan beriman orang-orang Kristiani itu sendiri dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan mereka yang berkeyakinan lain. Pernyataan ini sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Kristiani yang sudah dibaptis lalu dengan tahu dan mau meninggalkan Kristus. Dalam Kristianitas, meninggalkan Kristus dengan tahu dan mau sama dengan menyangkal keselamatan yang dilakukan hanya oleh Kristus sendiri.


Dalam tulisan ini, saya akan menguraikan bagaimana misi Kristiani dilakukan agar penyebaran iman yang diwartakan oleh para misionaris Kristiani tidak dituduh sebagai pemaksaan dalam bentuk indoktrinasi dan usaha katolikisasi. Untuk itu, saya akan mendeklarasikan antropologi sebagai salah satu disiplin ilmu yang mumpuni dalam mengenal manusia dan kebudayaan di mana iman Kristiani diwartakan. Dengan demikian iman yang ditaburkan di tempat misi benar-benar kontekstual dengan kultur di mana iman Kritiani diwartakan. 

Upaya misi Kristiani yang dikawinkan dengan disiplin ilmu antropologi melahirkan apa yang disebut dengan inkulturasi. Inkulturasi dengan demikian adalah upaya suksesi misi Kritiani. Melalui inkulturasi, iman Kristiani benar-benar berangkat dari konteks. Hal ini penting agar tidak memahami iman Kristiani sebagai produk impor yang kemudian diinternalisasi oleh umat di mana iman itu ditaburkan.


Di bagian ini, saya hendak memaparkan gagasan fundamental mengapa misi Kristiani adalah usaha yang mendesak. Untuk itu, saya perlu menyampaikan beberapa data biblis yang berhubungan dengan kemendesakan misi Kristiani sepanjang zaman. Lalu, saya juga memaparkan beberapa Dokumen Gereja dan tentu saja dokumen Konsili Vatikan II terkait misi Kristiani.


Dasar Biblis

Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, misi melulu dipahami sebagai Allah yang mengutus Putera-Nya ke tengah dunia. Perutusan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru melulu berorientasi pada rencana Allah untuk menyelamatkan dunia di mana Allah sendiri "meraja" atas dunia, dan menjadi segalanya dalam segalanya (1 Kor 15, 28).

Pertama, misi dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama, misi dipahami sebagai perutusan diri Allah sejak penciptaan sekaligus usaha penyebaran iman Kristiani dalam sejarah Gereja. Analisa C. Stuhlmueller dan L. Legrand dapat digunakan untuk menjelaskan kedua pemahaman misi di atas. Stuhlmueller memahami misi dalam Perjanjian Lama sebagai Allah yang hadir di tengah bangsa Israel. Dalam hal ini, bangsa Israel dilihat sebagai tanda yang membuka mata dunia bagi tawaran keselamatan yang datang dari Allah. Iman bangsa Israel dengan demikian dipahami sebagai sarana yang dapat mengantar umat manusia pada Allah.


Legrand kemudian memahami misi dalam Perjanjian Lama sebagai usaha untuk menarik orang kafir untuk datang kepada Allah sekali dan pada saat yang sama, menjadikan bangsa Israel sebagai tanda yang menarik bangsa lain kepada Allah. Legrand juga memahami misi sebagai karya Allah yang menyertai bangsa Israel untuk sampai ke tanah terjanji. Perlu diketahui bahwa bangsa Israel adalah satu-satunya bangsa yang meyakini Allah yang monoteis secara tradisional. Hal ini berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang meyakini politeisme. Bangsa Israel mempunyai kekhasan dalam kayakinan akan Yang Transenden.

Mereka memiliki kemampuan untuk memahami, menilai dan mengalami peristiwa-peristiwa harian sebagai rahmat. Kekhasan ini membuat bangsa Israel tidak pernah berupaya menyebarkan keyakinannya kepada bangsa lain. Misi dalam Perjanjian Lama -- terutama pada kultur religius bangsa Israel - dipahami sebagai perutusan di tengah bangsa Israel sendiri (Missio Interna) dan reksa pastoral dalam umat (lih. Yeh 2,3 dst.). Singkat kata, misiologi dalam Perjanjian Lama dipahami sebagai karya Allah di tengah umat Israel. Perutusan tokoh tertentu dipahami sebagai perutusan dalam kelompok Israel sendiri. Dalam perutusan seperti ini, "yang diutus" berperan sebagai juru bicara (mulut) atau juru karya Allah (lih. Yes 6,7; Yer 1,9; 15,19). Kita dapat menyaksikan perutusan semacam ini dalam perutusan Abraham (Kej 12, 1 dst.), Musa (Kej 12, 1 dst.), Yeremia (Yer 1,4-10).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun