Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Gelisah Tanpa Menulis

20 Januari 2021   01:03 Diperbarui: 1 Maret 2021   17:47 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bagi para penulis, menulis adalah aktivitas yang menyenangkan. Mereka merasa bahwa sensasi saat menulis sama seperti yang dialami pesepak bola saat bermain bola kaki atau seorang penyanyi saat bernyanyi. Menulis sudah menjadi aktivitas yang sulit ditinggalkan dari keseharian hidup mereka. Mereka sangat mencintai aktivitas ini.

Mereka bisa menulis di mana dan kapan saja. Mereka bisa menulis di stasiun, bandara, perpustakaan dan bahkan di kamar mandi sambil buang air besar. Mereka ingin agar ide-ide di kepala mereka segera diabadikan dalam sebuah tulisan.

Kita pun tahu kalau menulis itu melelahkan. Para penulis pun tentu saja lelah. Mereka harus berpikir (keras) untuk bisa memproduksi sebuah tulisan. Tetapi, Mereka menikmati kelelahan itu. Saya kira, inilah yang disebut dengan passion. Mereka merasa lelah, tetapi itu menyenangkan. Yang tidak mencintai aktivitas menulis, tentu saja sulit mengalami sensasi yang sama. Itulah perbedaan antara penulis dan bukan.

Perlu diketahui, beberapa penulis sampai merasa begitu gelisah tanpa menulis sehari saja. Saya pernah mendengar celoteh dari seorang profesor Filsafat yang bunyinya kurang-lebih demikian: "Saya itu begitu gelisah kalau sehari saja tidak menulis". Celoteh sang profesor terbukti dalam karir intelektualnya. Ia sudah menelorkan lebih dari 5 buku Filsafat dan ratusan artikel Filsafat, baik di jurnal nasional maupun internasional.

Beliau pernah bilang, menulis sebetulnya soal kebiasaan. Dia pun dulu tidak suka menulis. Tetapi kadang-kadang, tuntutan pekerjaan mengharuskannya untuk menulis. Karena sudah terbiasa menulis, dia malah menjadi penulis yang maniak. Beliau begitu gelisah kalau pengalaman hariannya tidak ditulis dalam diarynya. Lama-kelamaan, dia malah mencintai aktivitas yang pernah dibencinya itu.

Beliau juga menambahkan bahwa syarat utama menulis tidak lain adalah membaca. Tanpa menjadi pembaca, siapapun sulit menjadi penulis. Aktivitas membaca tidak hanya menambah wawasan kita, tetapi lebih dari itu, kita pun diajari tentang hal-hal teknis dalam hal menulis. Misalnya, kita akan tahu membedakan kata depan "di" dan imbuhan "di". Dengan begitu, kita mampu menguraikan isi kepala kita dalam sebuah tulisan yang baik.

Dari pengalaman beliau, saya kemudian berpikir bahwa sebetulnya kita semua bisa menjadi penulis, asalkan kita membiasakan diri dengan aktivitas membaca dan menulis. Membaca dan menulis memang bukan termasuk aktivitas yang bertujuan memuaskan tubuh. Membaca dan menulis tidak termasuk kebutuhan biologis. Kedua aktivitas ini lebih memenuhi kebutuhan batin ketimbang fisik. 

Membaca dan menulis tidak seperti bermain game, menikmati makanan lezat, berhubungan seksual atau menikmati pemandangan indah. Oleh karena itu, aktivitas membaca dan menulis begitu membosankan bagi orang-orang yang cenderung mengikuti keinginan tubuh. Harus diakui bahwa menulis dan membaca adalah kemampuan yang dibiasakan atau diwariskan. Kedua kemampuan ini diperoleh melalui warisan (didikan) yang umumnya diterima di sekolah.  

Salah-satu kemampuan terberi manusia yang tidak diperoleh dari pihak lain adalah kemampuan merenung. Tanpa dilatih pun, setiap manusia pasti mampu melakukan aktivitas ini. Merenung tidak lain adalah fakultas khas manusia. Anjing mustahil merenung.

Para penulis adalah mereka yang benar-benar memanfaatkan kemampuan ini dalam menulis. Aktivitas merenung membuat mereka mampu menceritakan pengalaman sederhana dalam sebuah tulisan yang menarik. Mereka selalu meluangkan waktu untuk 'merenung sebentar' dan kemudian menulis. Setiap peristiwa  yang mereka alami atau yang mereka saksikan kemudian dipikirkan. Mereka menemukan sesuatu pada dan di balik peristiwa itu.

Peristiwa kecil yang mungkin dianggap biasa-biasa saja oleh sebagian orang, malah menjadi materi tulisan yang menarik bagi seorang penulis. Merenung itu seperti usaha melihat sesuatu yang tak kelihatan dari sekian banyak yang kelihatan. Para penulis adalah mereka yang gelisah ketika apa yang tak kelihatan itu lupa diabadikan dalam sebuah tulisan. Mereka adalah para filsuf. Filsuf yang baik tidak hanya sampai pada merenung, tetapi ia harus menulis.

Oleh: Venan Jalang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun