Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jean Paul Sartre

28 September 2020   14:12 Diperbarui: 29 September 2020   11:24 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

 

Jean Paul Sartre (selanjutnya Sartre) lahir di Paris pada 21 Juni 1905. Ibunya bernama Anne-Marie Schweitzer dan ayahnya bernama Jean Baptiste. Ibu Sartre tidak lain adalah putri Charles Schweitzer, seorang penulis buku-buku pelajaran “sukses” di Alsace. Di samping itu, ibu Sartre juga sepupu pertama dari  Albert Schweitzer, seorang teolog, misionaris dan ahli musik kenamaan asal Jerman. Ayah Sartre merupakan seorang perwira Angkatan Laut yang meninggal dua tahun setelah kelahiran Sartre saat melaksanakan tugas kemiliteran di Indocina. Ayah Sartre wafat pada usia tiga puluh tahun. Akibatnya, Sartre sudah menjadi anak yatim sejak usia dua tahun. Melalui perpustakaan kakeknya, Charles Schweitzer, Sartre menemukan kegemarannya dalam “membaca” dan “menulis”.

Hingga usianya sepuluh tahun, Sartre Kecil hanya studi di rumah. Kemudian ibunya memasukannya ke Lycee Henri IV di Paris. Saat Sartre berusia dua belas tahun, ibunya menikah lagi. Situasi ini dialami Sartre sebagai “kehilangan” dan “pengkhianatan”. Pengalaman ini di kemudian hari menjadi dasar afirmasinya atas “Ketiadaan Allah”. Setelah beberapa tahun, Sartre kemudian bersekolah di Lycee Louis-le-Grand. Pada 1924, Sartre berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi prestisius di Prancis kala itu, yaitu Ecole Normale Superieure. Namun di ujian pertamanya, Sartre mendapat ranking terakhir. Selama di kampus, Sartre bersahabat baik dengan seorang gadis cantik bernama Simone de Beauvoir yang kemudian menjadi feminis eksistensial terkenal dengan pandangannya “Second Sex”. Keduanya saling jatuh cinta, namun tak pernah menikah. Keduanya sempat berpisah ketika Sartre dipromulgasikan sebagai pengajar di Lycee Le Harve.


Sartre bergabung dalam Perang Dunia II (1939-1942). Lantaran gangguan pada matanya, ia hanya bekerja di bagian meteorologi di Prancis Timur yang berfungsi sebagai peluncur balon udara untuk mengukur arah angin. Tepat pada ulang tahunnya yang ke-35, yakni pada 21 Juni 1940, ia ditawan tentara Nazi-Jerman. Selang setahun kemudian, Sartre berhasil melarikan diri ke Paris. Masa-masa di tahanan menjadi saat paling produktif dalam menelorkan karya-karya fenomenal Sartre. Saat tidak menulis, Sartre juga sering kali menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengan orang-orang seperti Albert Camus dan Pablo Picasso. 

Usai Perang Dunia II, ide-ide Sartre menjadi terkenal dan ia pun sering kali diundang untuk mengajar di banyak tempat. Hal ini didukung oleh kedudukannya sebagai redaktur majalah prestisius, seperti Les Temps Modernes.
Berkat diskusinya dengan Maurice merleau-Ponty, ia kemudian beralih menjadi seorang marxis. Konsekuensinya, ia tidak melanjutkan karyanya  “Being and Nothingness” yang awalnya dianggap sebagai landasan etis bagi eksistensialisme. Karena keputusannya tersebut, hubungannya dengan Albert Camus menjadi retak. Pada 1960, ia menerbitkan karya pertamanya yang berbau marxis. Tulisan tersebut berjudul “Critique de la Raison Dialectique” (Critique of Dialectical Reason). Pada 1964, Sartre dianugerahi nobel dalam bidang sastra yang dengan segera ditolaknya lantaran alasan politis. Sartre kemudian memutuskan hubungannya dengan  Uni Soviet pada 1968.


Dalam perang Prancis, ia sangat berpihak pada warga pribumi Aljazair. Hal terakhir ini membuat ia sangat dibenci oleh pemerintah Prancis. Pada 1971, ia kemudian memutuskan hubungannya dengan  Fidel Castro (Kuba) dan bergabung dengan Bertrand Russell yang saat itu sudah berusia 92 tahun dalam penyelidikan kejahatan pasukan militer Amerika dalam perang dengan Vietnam. Hal yang mengejutkan terjadi lagi ketika Sartre kemudian malah meninggalkan marxisme. Pada fase-fase selanjutnya, Sartre cenderung menghabiskan waktunya untuk merokok dan mengkonsumsi minuman keras.  Ia meninggal pada 15 April 1980.


 Distingsi Eksistensialisme “Theistik” dan “Atheistik”

Eksitensialisme “tersegregasi” ke dalam dua oposisi biner yang tak mungkin terintegrasi antara satu dan yang lainnya. Meskipun demikian, ada beberapa tema yang menyatukan keduanya, yakni: subyektivitas, eksistensi, individualitas, gairah, kebebasan, pilihan dan tanggung jawab. Tokoh eksistensial “theistik” yang perlu disebut di sini ialah Sӧren Kierkegaard. Kierkegaard juga mengurai panjang-lebar terkait tema subyektivitas, individualitas, keterasingan dan kebebasan, namun dalam pemaknaan yang berbeda dengan eksistensialisme “atheistik” a la Sartre. Bagi Kierkegaard, kebebasan manusia tidak lain adalah kebebasan yang diberikan oleh Tuhan.  Kierkegaard menegaskan demikian: “Ketika kita berpaling dari Allah, justru kita berpaling dari kebebasan kita sendiri”.

Berbeda dari eksistensialisme “theistik” Kierkegaard, Sartre memiliki konsep yang berbeda.  Kebebasan dalam eksistensialisme Sartre tidak pernah diberikan oleh pihak lain seperti tuhan. Bagi Sartre, manusia adalah subjek rasional yang memiliki kehendak dan pilihan bebas yang otonom. Keputusan dan pilihan setiap pribadi tidak pernah dideterminasi oleh pihak lain, apalagi tuhan. Dalam cara pandang yang berbeda, baik Kierkegaard maupun Sartre menolak filsafat ‘dialektika” Hegelian. Hal ini disebabkan oleh karena Hegel berusaha menjelaskan sejarah sebagai realisasi takdir Tuhan (Roh Absolut). Dalam hegel, “takdir tuhan” yang terealisasi dalam sejarah selalu termanifestasi dalam dialektika tesis – antitesis – dan sintesis. Berhadapan dengan hal ini, Kierkegaard mengungkapkan: “tersesat dalam kebingunagan dialektika Hegelian”.


Eksistensialisme Jean Paul Sartre

Kebebasan
Dasar argumentatif konsep kebebasan Sartre ialah “eksistensi mendahului esensi”. Konsekuensi logis dari tesis ini ialah “ketiadaan tuhan”. Lebih lanjut Sartre menegaskan bahwa bila yang namanya “tuhan” tidak ada, itu berarti manusia memiliki kebebasan yang “sebebas-bebasnya” dan bahkan menurut Sartre manusia tidak lain adalah kebebasan itu sendiri. Namun demikian, “absensi tuhan” tidak serta-merta membawa kebaikan penuh bagi manusia. Dalam eksistensialisme, persoalan muncul tatkala manusia mengharuskan diri dalam pemaknaan diri. Tugas ini mustahil dilakukan oleh pihak lain, selain manusia sebagai subjek yang otonom. Pemaknaan diri merupakan konsekuensi langusng kesadaran diri yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai subjek rasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun