Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahasa Persuasif-Manipulatif

20 September 2020   16:29 Diperbarui: 20 September 2020   16:36 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jean Pierre Bourdieu, seorang filsuf Prancis, pernah membicarakan panjang lebar terkait problem bahasa dalam bukunya yang berjudul "Language and Symbolic Power". Beliau menegaskan bahwa bahasa dapat dipahami sebagai modal budaya sekaligus modal simbolis. Bahasa dimengerti sebagai modal budaya tatkala bahasa dipandang sebagai kecakapan berbicara atau kempetensi khusus yang diperoleh melalui pendidikan atau kualifikasi teknik. Dalam hal ini, kemampuan berbahasa diperoleh melalui edukasi keluarga dan sekolah. Bagi Bourdieu, penulis, ahli bahasa dan para guru adalah agen-agen yang memiliki otoritas dalam menentukan bahasa yang jelas dan juga sebaliknya. 

Bahasa dipahami sebagai modal simbolis ketika bahasa diproduksi sebagai wacana atau opini politik. Dalam pengertian ini, bahasa tidak sekadar alat komunikasi, melainkan sebagai instrumen tindakan dan kekuasaan. Bahasa sebagai modal simbolis berpotensi meraup kekuasaan simbolis. Sebagai modal simbolis, bahasa diproduksi sebagai wacana yang bertujuan meraup pengakuan sosial atau lebih tepat dikatakan sebagai instrumen dominasi sosial. Bahasa yang demikian dipahami sebagai tanda atau simbol kekayaan (signs of wealth) yang bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi dan tanda otoritas (signs of authority), yaitu untuk dipercaya dan dipatuhi. Bahasa dengan demikian bukan sebatas persoalan gramatikal, melainkan juga terkait legitimasi sosial. Dalam ranah politik, bahasa dapat dipandang dalam perspektif modal kultural sekaligus modal simbolis. Kedua modal ini sama-sama penting dalam praksis politik. Dalam ranah politik, bahasa dapat digunakan sebagai alat propaganda dan provokasi.

Bourdieu memahami bahasa politik sebagai doxa yang "dipaksakan" kepada masyarakat untuk diakui dan dipatuhi. Bourdieu melihat bahwa aktor politik yang punya modal politik akan dengan mudah memproduksi isi retorika yang mampu mendapat pengakuan dari masyarakat. Modal politik dipahami sebagai kompetensi sang politisi dalam aktivitas politik. Ranah politik dengan demikian merujuk pada sistem yang terdiri dari subjek-subjek yang punya kompetensi khusus dalam berpolitik. Salah satu kompetensi tersebut ialah retorika. Retorika dalam hal ini penting untuk memproduksi wacana politik. Dengan demikian, partai politik harus mampu mengakomodasi agen-agen politik kompeten. Dengan kata lain, partai politik yang sedang berjuang harus mampu memproduksi ideologi yang mampu diakui massa.

Bourdieu juga memperkenalkan mekanisme delegasi politik. Delegasi adalah suatu proses memberikan kekuatan kepada pihak lain, yang mengubah mandator menjadi mandataris atau sebagai tanda atas kepentingan yang bertindak atas kepentingan dan memberikan kepadanya kuasa perwakilan atau plena potential agenda. Delegasi politik adalah subjek yang memiliki kompetensi istimewa dalam aktivitas berpolitik. Dalam hal ini, delegasi politik harus mampu menjadi representasi visi dan misi politik partai yang mengusungnya. 

Representasi itu harus tampak pada isi retorika sang delegasi. Kemampuan beretorika begitu krusial dalam memenangkan pertarungan politik. Isi dan cara beretorika sang delegasi melulu mewakili atau mendefinisikan identitas partai politik yang mengusungnya. Berkaitan dengan ini Bourdieu menegaskan bahwa delegasi politik harus mampu menelorkan isi retorita yang dipatuhi massa.


Konsep bahasa yang dideklarasikan Bourdieu kontekstual untuk menganalisa fenomena pertarungan politik di Indonesia. Di Indonesia, para politisi lebih tertarik beretorika tentang kelemahan lawan politik ketimbang memecahkan persoalan kemiskinan. Para politisi di Indonesia lebih antusias mecari kelemahan lawan politik ketimbang mencari solusi tendensi KKN yang kian merajalela. Ruang publik juga dijadikan tempat para politisi dan pakar politik membela secara diam-diam tindakan koruptif rekan politiknya. Ruang publik dijadikan locus aktivitas berbohong. Retorika para politisi di ruang publik dengan demikian adalah bualan besar. 

Pembualan politik diuntungkan lantaran pembohong mengetahui duluan apa yang ingin didengarkan oleh pihak yang dibohongi.
Perdebatan antara kubu Jokowi-Ma'ruf Amin vs Prabowo-Sandi pra-pilpres menampilkan nuansa politis yang demikian. Para pembicara kedua kubu yang diundang ke ruang publik (Indonesian Lawers Club misalnya: disiarkan oleh TV One) bersilang pendapat bukan tentang persoalan substansial terkait peradaban Indonesia. Diskusi dan debat malah mempertontonkan retorika saling membuka kelemahan di hadapan publik. 

Kedua kubu saling menelanjangi diri dengan retorika yang sering kali bernada kebencian. Kubu Jokowi-Ma'ruf membuka aib Prabowo yang katanya terlibat dalam pembunuhan massal tahun 1998, sedangkan kubu Prabowo-Sandi menuduh degradasi kinerja Jokowi akibat KKN. Akhirnya, ruang publik dijadikan tempat saling menuduh dan memfitnah. Retorika kemudian lebih menonjolkan sensasionalitas ketimbang substansialitas. Diskusi dijadikan momen menelanjangi kelemahan lawan politik dan menebar keunggulan kelompok politik tertentu. Tendensi semacam ini bisa dibaca sebagai strategi dominasi sekaligus usaha meraup pengakuan sosial masing-masing kubu. Tidak bisa tidak!

Debat yang disiarkan oleh televisi lebih bertujuan menaikan rating stasiun televisi ketimbang menyampaikan edukasi dan informasi penting terkait program kerja para pemimpin Indoensia lima tahun kemudian. Pertimbangan jumlah pemirsa sering kali mengabaikan kualitas acara. Akibatnya, pemirsa yang menikmati debat dan diskusi yang disiarkan televisi tidak mendapatkan edukasi politik yang memadai. Upaya untuk menggalang suara rakyat dalam rangka membentuk opini publik, silang pendapat dan pertarungan di kalangan elite lebih berorientasi pada vested interest daripada bonum commune. 

Retorika delegasi politik selalu menyampaikan keunggulan partainya daripada program kerja yang dapat meminimalisasi persoalan-persoalan konkret yang sedang melanda bangsa Indoensia. Delegasi mau tidak mau seperti itu, karena ia menjadi penanda dari kepentingan politik segelintir orang sekaligus identitas kelompok tersebut. Singkat kata, dalam konteks perpolitikan Indonesia, dunia politik telah ditransfromasikan dari ruang bersama ke rumah kencana segelintir manusia. Diskursus politik direduksi pada retorika para elite ketimbang bonum commune. Retorika para pakar politik dalam ruang publik yang kemudian disiarkan oleh televisi dengan demikian tidak lain adalah retorika yang sifatnya persuasif-manipulatif. Itu berarti, isi retorikanya selalu bagian dari strategi memperoleh pengakuan dan kepercayaan sosial massa pemilih. Kepercayaan dan pengakuan sosial tentu saja berpotensi menempati agen politik pada posisi strategis dalam tangga kekuasaan. Retorika yang demikian harus dikritisi sebagai strategi dominasi.

Retorika persuasif-manipulatif juga dapat dibaca dalam perspektif kritis atas media komersial. Itu berarti, retorika yang sering kali dipertontonkan oleh televisi melulu sudah dibatasi oleh watak media dan kepentingan kelompok yang berkonspirasi dengan media tersebut. Oleh karena itu, diskusi dan debat yang disiarkan oleh suatu media tidak lagi bertujuan mendapatkan suatu kesepakatan rasional, melainkan dibatasi oleh beragam rekayasa, pembatasan, sensor, "titipan" dan keputusan sepihak. Konspirasi keduanya tentu saja saling menguntungkan. Retorika sensasinonal tentu saja disukai oleh pemirsa di rumah. Rating media tersebut pun semakin naik. Pada saat yang sama, partai tertentu diuntungkan, lantaran media adalah instrumen yang efektif mempersuasi kesadaran pemirsa di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun