Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membaca Dulu, Baru Berkomentar!

6 September 2020   20:03 Diperbarui: 7 September 2020   01:00 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Untuk sesuatu yang kita tidak tahu, mending kita diam saja! Kita tidak perlu memaksa diri untuk berbicara tentang sesuatu yang belum kita paham. Diam tidak selamanya tanda orang tidak mau belajar. Bagi orang-orang tertentu, diam malah tanda aktif mendengarkan. Diam untuk mendengarkan adalah saat yang baik untuk belajar dari orang yang sedang berbicara. Pendiam yang pembelajar akan tampak pada saat tertentu, di mana dia akan bertanya tentang sesuatu yang belum ia pahami. Sokrates pernah mengajarkan bahwa belajar yang baik adalah saat kita menyadari, yang kita tahu sebenarnya kita tidak tahu apa-apa. Dari Sokrates kita belajar tentang pengetahuan yang diperoleh dengan aktivitas bertanya terus-menerus. Orang yang merasa tahu segalanya akan sulit untuk bertanya!

Zaman setelah orde baru ditandai dengan kebebasan berbendapat yang semakin leluasa. Kita tahu dengan baik bahwa era reformasi mengusung kritik tajam atas sistem pemerintahan totaliter orde baru di bawah rezim Soeharto. Nuansa kebebasan itu masih sangat terasa hingga saat ini. Perkembangan teknologi komunikasi massa yang masif dan sistematis, rupanya semakin membuka lebar pintu kebebasan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Media komunikassi massa memungkinkan siapa saja untuk berpendapat. Setiap orang dengan mudah dan segera mendapatkan beragam informasi melalui media massa.

Kemudahan akses ke media sosial tentu saja menjadi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, media sosial memudahkan setiap orang untuk segera beraspirasi sekaligus mendapatkan informasi. Namun, di sisi lain, media sosial menjadi platform yang potensial membodohi masyarakat. Melalui media sosial, setiap orang bisa menulis, berkomentar dan menyampaikan beragam informasi. Pengguna media sosial disuguhi informasi yang melimpah di setiap hari. Kalau dulu kita kesulitan mendapatkan informasi, maka sekarang, kita malah kesulitan menyaring mana informasi yang valid dan mana yang 'hoaks'.

Informasi yang begitu mudah diakses ternyata tidak diimbangi dengan objektivitas informasi. Masyarakat di era digital sering kali disuguhi dengan informasi yang keliru dan bahkan salah. Satu sumber berita terkadang memberikan informasi yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan sumber berita yang lain. Kita kemudian kesulitan menentukan referensi informasi yang akurat. Hal ini bahkan dilakukan oleh media-media mainstream di Indonesia. Kita tahu persis bahwa hasil penghitungan suara pilpres 2019 antara TV One dan Metro TV berbeda. Kekacauan ini menimbulkan kesangsian masyarakat atas kejujuran media.

Akhir-akhir ini, para penyuka sepak bola sedang dibanjiri dengan berita terkait ketidakhadiran Messi di Camp Nou pascaputaran final liga Champions. Beberapa media menyoroti hal ini sebagai bentuk keinginan Messi untuk meninggalkan Barcelona. Informasi yang disampaikan beberapa media tersebut membuat supporter Barcolona menuduh Messi sebagai pengecut dan pengkhianat yang meninggalkan Barcelona di saat tim sedang terpuruk.

Kebenaran kemudian mencuat ketika seorang wartawan Goal mewawancarai Messi. Messi kemudian menegaskan bahwa ia tidak akan meninggalkan Barcelona hanya karena kekalahan memalukan di Lisbon. Ketidakhadirannya di dua sesi latihan sebelumnya bukan kerena berniat meninggalkan Barcelona. Ia hanya ingin sejenak menyendiri lantaran kekalahan menyakitkan dari Bayern Munchen di Lisbon. Lebih lanjut Messi menegaskan bahwa yang menyakitkan ialah ketika para jurnalis mempertanyakan komitmennya terhadap Barcelona. Sebelum Messi sendiri berbicara, banyak orang sudah mencaci-maki Messi sebagai pengecut dan pengkhianat. Mereka berkomentar tanpa terlebih dahulu memastikan akurasi kebenaran.

Mungkin berita soal Messi sekadar ilustrasi sederhana terkait betapa pentingnya studi sebelum berkomentar. Studi itu penting untuk kritis atas setiap informasi yang diwartakan oleh siapapun. Selain itu, studi itu penting agar kita memiliki fondasi dan referensi akurat dalam berargumentasi. Kita jangan sampai hanya memiliki argumen: 'pokoknya menurut saya begitu dan bukan begini'. Kita sulit berdiskusi tanpa punya tradisi membaca. Ketika kita berdiskusi tentang pernyataan "kitab suci itu fiksi', kita pertama-tama perlu membaca terkait sejarah dan hermeunetika makna kitab suci serta konsep dasar terkait istilah "fiksi" itu sendiri.


Aktivitas studi dan membaca membuat kita tidak mudah terprovokasi oleh pernyataan orang-orang tertentu yang belum tentu benar. Kita tidak boleh menjadi orang yang tahu sedikit, tetapi bicara banyak, boss! Tradisi membaca juga adalah saat yang tepat untuk belajar berbicara dan menulis dengan bahasa Indonesia yang benar. Pembaca tidak hanya mendapatkan pengetahuan sejarah dan konsep dasar tentang sesuatu. Lebih dari itu, pembaca juga akan diajarkan tentang hal-hal teknis, seperti: perbedaan kata depan "di" dan imbuhan "di". Orang-orang yang tidak punya kebiasaan membaca akan menggunakan kata depan "di" dan imbuhan "di" secara serampangan. Aktivitas membaca adalah syarat sebelum berpendapat.

Bagi saya, belajar yang baik itu di perpustakaan, bukan dari youtube atau tulisan lepas di internet. Kita bisa belajar dari internet, tetapi perlu seleksi. Saya ingin merekomendasikan "Labrary Genesis" sebagai salah satu platform perpustakaan yang mengumpulkan banyak buku bacaan berkualitas. Teman-teman bisa membaca buku-buku di sana. Dan, jangan sekali-sekali berargumentasi dengan referensi konten youtube yang provokatif. Konten youtube yang cenderung membodohi pemirsa misalnya berjudul: "Detik-detik seorang ustad mantan pastor berbicara tentang Yesus". Saya pastikan, konten youtube yang demikian tidak pernah mewartakan kebenaran.

Kita sekarang sedang berhadapan dengan wabah covid 19. Soal polemik apakah covid 19 adalah sebuah bencana yang direncanakan oleh pihak tertentu atau tidak, kita sendiri belum paham. Yang pasti, banyak orang dan bahkan dokter meninggal dunia akibat terserang virus corona. Kalau ada informasi tentang virus corona yang tidak berbahaya, itu jelas 'hoaks'. Kalau ada informasi tentang "Indonesia yang tanpa rasis dan diskriminasi", itu juga jelas 'hoaks'. 

Harus diakui bahwa masih banyak orang yang berusaha membuat yang salah seolah-olah benar dan yang benar seolah-olah salah. Tradisi studi dari sumber yang akurat menjadi proyek pribadi yang mendesak. Bicara dari ketidaktahuan itu, seperti tong kosong yang nyaring bunyinya!

Oleh: Venan Jalang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun