Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemujaan "Membabi Buta" atas Budaya Barat dan Drama Korea

14 Agustus 2020   17:23 Diperbarui: 23 Januari 2021   16:40 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak dapat dipungkiri bahwa cara kerja alienasi dan dominasi di zaman modern-kontemporer dijalankan dengan amat lain sama sekali ketimbang zaman-zaman sebelumnya. Strategi kolonisasi dan imperialisasi telah dimodifikasi secara radikal. Modifikasi strategi merupakan upaya penyembunyian watak dasar, orientasi dan tujuan hakiki penguasa kapitalis. Jika di era-era sebelumnya dijalankan melalui strategi militer, penjajahan kini bergeser ke strategi eksploitasi wilayah kesadaran individu.

Kaum kuat kuasa kini mendominasi dan menjajah melalui pasar, hutang, bursa saham, investasi, pendidikan, teknologi dan jaringan komunikasi. Singkat kata, kaum pendominasi -- melalui teknologi kumunikasi massa -- membangun kesadaran palsu bahwa standar ideal peradaban manusia terletak pada gaya hidup kaum penguasa. Strategi ini efektif melalui media massa.

Kaum penguasa cukup memberikan tampilan yang memuaskan insting masyarakat melalui film dan konser musik di televisi, maka kesadaran masyarakat dapat dikontrol dan dikekang. Kesadaran masyarakat dibuat patuh, percaya dan tertarik pada pada maksud kaum penguasa kapitalis. Insting yang tergila-gila dengan dengan tampilan film dan konser musik membuat kesadaran subjek mudah dikontrol demi kepentingan penguasa kapitalis.

Dengan Koran, radio, film dan televisi, penguasa dapat mendominasi suatu wilayah dan pikiran sebuah bangsa. Singkat kata, melalui film dan konser musik, kaum penguasa kapitalis membuat kesadaran pemirsa memiliki disposisi pemujaan atas kultur budaya penguasa kapitalis. Penjajahan modern-kontemporer dijalankan dengan strategi yang demikian.

Teknologi canggih serta selebriti yang cantik dan tampan yang ditampilkan film membuat masyarakat melihat subjektivitasnya dengan kaca mata serba kekurangan: kurang tampan, kurang cantik, kurang seksi, kurang modis, kurang canggih, kurang kekinian. Di satu sisi, masyarakat merasa instingnya terpuaskan, namun di sisi lain, masyarakat selalu merasa kurang puas dengan kondisi riil kediriannya. Dua sikap yang bertolak belakang ini menampilkan fakta bahwa subjektivitas dan eksistensi individu seolah identik dengan simbol sosial yang didesain dan diwartakan oleh sebuah film. Kepentingan ideologis kaum kapitalis bersembunyi di balik gaya hidup yang diwartakan film.

Cara berpikir ini juga kontekstual untuk analisa kritis atas disposisi anak-anak muda Indonesia yang cenderung memuja dan mamuji selebriti-selebriti Amerika dan Korea. Gaya rambut, cara berbicara, merek pakaian dan bahkan anatomi wajah para aktor dan aktris dijadikan rujukan untuk kedirian mereka. Konsekuensinya, mereka selalu merasa tidak puas dengan kondisi riil subjektivitasnya. Dampak lanjutannya ialah, produk pemutih wajah, pelurus dan pewarna rambut serta barang-barang yang identik dengan budaya barat dan korea habis terjual di pasaran. Konsekuensi paling dramatis ialah bahkan ada yang mengubah secara total anatomi wajah mereka dengan teknologi implan supaya tampak seperti idola mereka baik itu aktor Hollywood ataupun aktris drama Korea.

Anak-anak muda Indonesia bisa menghabiskan waktu berjam-jam menonton film-film barat dan drama Korea. Kisah heroic dan gaya hidup glamour yang ditampilkan film-film barat "memaksa" kesadaran mereka untuk meniru. Kisah-kisah romantis-melankolis yang ditampilkan drama korea "mengimajinasi" insting muda-mudi Indonesia agar kisah asmara mereka bisa sedramatis kisah lakon drama-drama tersebut. Singkat kata, film-film barat dan drama korea mengantar anak-anak Indonesia ke angan-angan yang tidak realistis.

Dalam hal ini, produk teknologi seperti: Televisi, youtube, instagram dan facebook potensial menggairahkan muda-mudi Indonesia untuk mengkonsumsi film-film barat dan drama Korea. Melalui iklan yang ditampilkan oleh media massa, anak-anak muda Indonesia bisa langsung mengetahui film hollywood dan drama Korea terupdate. Belum sampai seminggu film atau drama di-launching, penontonnya sudah sampai puluhan ribu.

Fenomena ini dapat dibaca sebagai keberhasilan kaum penguasa kapitalis dalam mendominasi kesadaran kaum muda-mudi Indonesia. Keberhasilan ini tampak pada prilaku konsumeristis-hedonistis, egoistis, kesamaan mengidolakan aktris, sikap dan cara berpakaian. Generasi milenial Indonesia sedang dimabuk-kebayang oleh ketampanan Lee Min-ho.

Anak muda Indonesia sedang berdecak kagum oleh kecanggihan teknologi dalam film Hollywood, seperti: "Transformers" dan "Avengers Endgame". Mengagumi dalam hal ini bukan sebatas disposisi otentik. Disposisi ini tidak lain adalah produk indoktrinasi kesadaran oleh pihak kapitalis melalui film. Kekaguman ini sudah direncanakan oleh kaum kapitalis yang berkonspirasi dengan sutradara, selebriti dan kru pembuatan film.

Selera kaum pendominasi yang disebarkan melalui televisi dan youtube dapat mempengaruhi preferensi gaya hidup kaum muda Indonesia di era digital ini. Standar kekinian life-style direduksi pada gaya hidup glamour para selebriti. Propaganda gaya hidup selebriti yang secara masif dan sistematis disebarkan melalui film memiliki peran signifikan bagi disposisi kognitif pemirsa dalam preferensi. Konsekuensinya, semua orang berusaha memaksakan selera fashion dan gaya bicara seperti para selebriti. Konsekuensi kultural paling mengejutkan dalam hal ini ialah pengkhiatanan identitas kultur.

Anak-anak Indonesia lebih nyaman mengenakan pakaian produk Barat ketimbang mengenakan batik. Anak-anak Indonesia Timur lebih nyaman dan percaya diri dengan dialek Jakarta ketimbang dialek dan logat khas daerahnya. Anak-anak Indonesia lebih nyaman berkulit putih ketimbang yang bukan putih. Orang-orang kekinian adalah mereka yang minum coca-cola dan makan pizza hut. Kekinian seseorang diukur oleh obyak yang dikonsumsinya.

Disposisi artifisial ini tidak lain adalah produk ambisi kapitalisme yang bekerja lewat iklan, film dan acara hiburan di televisi. Konsekuensinya, bakso, tempe, tahu, sate dan makanan-makanan lokal lainnya dianggap tidak kekinian. Yang mengkonsumsi makanan jenis terakhir ini dianggap kolot dan ketinggalan zaman. Saya menyebut tendensi yang terakhir ini sebagai pengkhianatan kultural.

Pengkhianatan identitas kultural memaksudkan kecenderungan memuja-muja produk kebudayaan lain dan menganggap produk budaya sendiri sebagai bukan yang terkini atau yang bukan terunggul. Apa yang dialami oleh anak-anak muda Indoneia di zaman ini ialah tendensi yang demikian. Histeria drama korea menjadi bagian dari kehiduapan anak-anak zaman sekarang.

Selain itu, produksi film-film Amerika juga yang sering kali dikemas sedemikian rupa untuk upaya promosi teknologi dan gaya hidup kaum pendominasi asing yang bekerja sama dengan pendominasi lokal. Film membangun kesadaran yang keliru dalam diri anak-anak Indonesia. Film melestarikan kesadaran rendah diri yang akut.

Film membuat kesadaran pemirsa meyakini bahwa kebudayaan barat dan korea superior atas kebudayaan lokal. Kekeliruan kesadaran ini berangkat dari kenyataan bahwa film-film Amerika dan Korea sering kali memuat propaganda ideologis yang tidak disadari oleh pemirsa. Melalui propaganda tersebut, standar ideal gaya hidup pendominasi dimuat dalam bentuk dramatisasi film atau iklan.

Film-film Amerika cenderung  menampilkan kegantengan dan kecantikan mode hingga kepahlawanan masyarakat dunia masih mengacu pada Amerika. Hal yang sama kini dialami oleh dunia perfileman Korea: mereka sukses mengontrol kesadaran para konsumen film dari banyak negara. Fenomena ini saya sebut sebagai feomena pemujaan "membabi-buta" atas kultur barat dan drama Korea.

Pemujaan yang absurd ini membuat produk yang kebarat-baratan serta atribut-atribut yang identik dengan negara Korea laku di pasaran. Bila dibaca dalam perspektif kritis, sebetulnya anak-anak remaja yang terbuai dengan rayuan film barat serta drama Korea sedang ditindas dan dieksploitasi oleh nafsu kaum pendominasi barat dan Korea yang bekerja sama dengan para pemodal lokal.

Bayangkan saja, kalau ribuan mahasiswa menonton film korea dan membeli perlengakapan yang identik dengan Korea, maka keuntungan yang diperoleh pemilik modal berlipat ganda. Hal ini memperlihatkan perubahan pemahaman tentang efektivitas dan intensitas dominasi terhadap individu. Dominasi yang dilancarkan melalui media massa tidak menimbulkan perlawanan oleh pihak terdominasi.

Dominasi semacam ini sama sekali tidak  disadari oleh mereka yang terdominasi. Kaum pendominasi berusaha mengontrol dan memberikan rasa nyaman kepada kaum terdominasi dengan maksud meraup legitimasi. Media dan isi pesannya menguasai dan mengontrol  pancaindra, pikiran, keasadaran, kebutuhan, sikap dan gaya hidup individu dan masyarakat keseluruhan. Penjajah zaman modern-kontemporer melakukan alienasi dan dominasi sampai ke ruang privat individu. Momen dominasi ialah saat subjek tidak menyadari bahwa keputusannya ditentukan oleh pihak kuat-kuasa: bukan berdasarkan pertimbangan dan disermen rasional yang matang.

Pemujaan yang berlebihan atas kebudayaan pendominasi menimbulkan rasa rendah diri yang akut dalam kesadaran masyarakat terdominasi. Saya menyebut tendensi ini sebagai kerendahan diri yang irasional di hadapan kaum elite. Dikatakan demikian lantaran tendensi ini dibuat oleh kaum pendominasi dengan perbedaan gaya hidup sebagai alasan rasional. Pemujaan lantaran gaya hidup seperti ini absurd, sebab kemanusiaan direduksi pada produknya, bukan pada subjektivitasnya. Dari subjektivitasnya, semua manusia sama; tidak ada manusia yang lebih superior atas manusia yang lain.

Oleh: Venan Jalang, Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun