Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemujaan "Membabi Buta" atas Budaya Barat dan Drama Korea

14 Agustus 2020   17:23 Diperbarui: 23 Januari 2021   16:40 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anak-anak Indonesia lebih nyaman mengenakan pakaian produk Barat ketimbang mengenakan batik. Anak-anak Indonesia Timur lebih nyaman dan percaya diri dengan dialek Jakarta ketimbang dialek dan logat khas daerahnya. Anak-anak Indonesia lebih nyaman berkulit putih ketimbang yang bukan putih. Orang-orang kekinian adalah mereka yang minum coca-cola dan makan pizza hut. Kekinian seseorang diukur oleh obyak yang dikonsumsinya.

Disposisi artifisial ini tidak lain adalah produk ambisi kapitalisme yang bekerja lewat iklan, film dan acara hiburan di televisi. Konsekuensinya, bakso, tempe, tahu, sate dan makanan-makanan lokal lainnya dianggap tidak kekinian. Yang mengkonsumsi makanan jenis terakhir ini dianggap kolot dan ketinggalan zaman. Saya menyebut tendensi yang terakhir ini sebagai pengkhianatan kultural.

Pengkhianatan identitas kultural memaksudkan kecenderungan memuja-muja produk kebudayaan lain dan menganggap produk budaya sendiri sebagai bukan yang terkini atau yang bukan terunggul. Apa yang dialami oleh anak-anak muda Indoneia di zaman ini ialah tendensi yang demikian. Histeria drama korea menjadi bagian dari kehiduapan anak-anak zaman sekarang.

Selain itu, produksi film-film Amerika juga yang sering kali dikemas sedemikian rupa untuk upaya promosi teknologi dan gaya hidup kaum pendominasi asing yang bekerja sama dengan pendominasi lokal. Film membangun kesadaran yang keliru dalam diri anak-anak Indonesia. Film melestarikan kesadaran rendah diri yang akut.

Film membuat kesadaran pemirsa meyakini bahwa kebudayaan barat dan korea superior atas kebudayaan lokal. Kekeliruan kesadaran ini berangkat dari kenyataan bahwa film-film Amerika dan Korea sering kali memuat propaganda ideologis yang tidak disadari oleh pemirsa. Melalui propaganda tersebut, standar ideal gaya hidup pendominasi dimuat dalam bentuk dramatisasi film atau iklan.

Film-film Amerika cenderung  menampilkan kegantengan dan kecantikan mode hingga kepahlawanan masyarakat dunia masih mengacu pada Amerika. Hal yang sama kini dialami oleh dunia perfileman Korea: mereka sukses mengontrol kesadaran para konsumen film dari banyak negara. Fenomena ini saya sebut sebagai feomena pemujaan "membabi-buta" atas kultur barat dan drama Korea.

Pemujaan yang absurd ini membuat produk yang kebarat-baratan serta atribut-atribut yang identik dengan negara Korea laku di pasaran. Bila dibaca dalam perspektif kritis, sebetulnya anak-anak remaja yang terbuai dengan rayuan film barat serta drama Korea sedang ditindas dan dieksploitasi oleh nafsu kaum pendominasi barat dan Korea yang bekerja sama dengan para pemodal lokal.

Bayangkan saja, kalau ribuan mahasiswa menonton film korea dan membeli perlengakapan yang identik dengan Korea, maka keuntungan yang diperoleh pemilik modal berlipat ganda. Hal ini memperlihatkan perubahan pemahaman tentang efektivitas dan intensitas dominasi terhadap individu. Dominasi yang dilancarkan melalui media massa tidak menimbulkan perlawanan oleh pihak terdominasi.

Dominasi semacam ini sama sekali tidak  disadari oleh mereka yang terdominasi. Kaum pendominasi berusaha mengontrol dan memberikan rasa nyaman kepada kaum terdominasi dengan maksud meraup legitimasi. Media dan isi pesannya menguasai dan mengontrol  pancaindra, pikiran, keasadaran, kebutuhan, sikap dan gaya hidup individu dan masyarakat keseluruhan. Penjajah zaman modern-kontemporer melakukan alienasi dan dominasi sampai ke ruang privat individu. Momen dominasi ialah saat subjek tidak menyadari bahwa keputusannya ditentukan oleh pihak kuat-kuasa: bukan berdasarkan pertimbangan dan disermen rasional yang matang.

Pemujaan yang berlebihan atas kebudayaan pendominasi menimbulkan rasa rendah diri yang akut dalam kesadaran masyarakat terdominasi. Saya menyebut tendensi ini sebagai kerendahan diri yang irasional di hadapan kaum elite. Dikatakan demikian lantaran tendensi ini dibuat oleh kaum pendominasi dengan perbedaan gaya hidup sebagai alasan rasional. Pemujaan lantaran gaya hidup seperti ini absurd, sebab kemanusiaan direduksi pada produknya, bukan pada subjektivitasnya. Dari subjektivitasnya, semua manusia sama; tidak ada manusia yang lebih superior atas manusia yang lain.

Oleh: Venan Jalang, Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun