Mohon tunggu...
Vanessa Karsten
Vanessa Karsten Mohon Tunggu... Freelancer - is not really a writer

Mengabadikan momen lewat tulisan. Pelita Harapan '21.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kisah di Balik Sepucuk Surat

18 Agustus 2020   12:35 Diperbarui: 18 Agustus 2020   12:50 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"17 Agustus 1945" Tara menjawab dengan cepat, seakan itu pertanyaan yang mudah sekali untuk ia jawab. "Benar sekali! Waktu itu, Ibu rela datang jauh-jauh hanya untuk menyaksikan pembacaan teks proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno. Saat itu, ibu menitipkan kamu ke Mbok Sis karena kamu masih terlalu kecil. Setelah pembacaan proklamasi, acara dilanjutkan dengan pengibaran Bendera Merah Putih" ujar Maryam menceritakan pengalaman masa lampaunya. Hal ini merupakan kesempatan emas baginya, bisa menyaksikan pembacaan teks proklamasi di Jakarta. Andai saja Djaya masih hidup, mungkin ia akan menemani Maryam saat itu.

"Kita harus bersyukur, Tara, karena kita masih bisa hidup sampai saat ini. Perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia memberikan kita banyak pelajaran. Perdamaian adalah salah satu contoh yang penting. Kita bisa belajar dari Piagam Perdamaian dan juga Piagam Atlantik. Setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu kita bisa merdeka. Kamu harus mengerti betapa pentingnya perdamaian, dengan damai, kita bisa hidup dengan tenteram" ujar Maryam menasehati Tara.

"Iya bu, Tara mengerti, Apa ibu rindu Ayah?" Tanya Tara. "Tentu, Ibu merindukannya setiap hari, namun Ibu yakin Ayah pasti bangga diatas sana melihat Tara disini sekarang. Tara harus berjanji pada Ibu dan Ayah, bahwa Tara akan menjadi gadis hebat dan juga berprestasi, oke?" Maryam menjawab sambil mengusap kepala anak gadisnya.

"Tapi, bagaimana caranya bu?" ujar Tara.

"Tugasmu sekarang tidak lagi memikul senjata, namun dengan mengharumkan nama bangsa. Ibu dan Ayah percaya Tara akan jadi anak yang hebat, sama seperti apa yang dikatakan Ayah pada saat Tara masih bayi" Maryam menjawab.

"Ibu serius? Ayah benar-benar mengatakan hal itu?" Tara kaget. "Tentu saja, Ayah sangat amat menyayangimu, Tara. Ibu rasa, kamu sudah cukup besar untuk menerima ini" Maryam menjawab sambil memalingkan wajahnya, mencari barang-barang balam kotak itu.

Dua pucuk surat, satu buah jurnal tua, dan sebuah kotak kecil berisi kalung yang indah.

"Ini ... bacalah, itu surat pemberian Ayahmu, jurnal itu bisa kau baca ketika kau rindu Ayah, meskipun ia mengakui dirinya tidak pandai menulis, tapi itu hanyalah kebohongan, ia suka menulis dan mengirimkan Ibu surat sebelum kami menikah, dan, kalung ini, pakailah. Ini pemberian Ayah, untukmu" tak sadar, setetes air mata jatuh membasahi pipi Maryam, bagaimanapun mengingat peristiwa itu tetap menyayat salah satu bagian dari hatinya. Sebuah ruang kosong, yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa diisi oleh apapun, bahkan kekayaan sekalipun.

Melihat ibunya menangis, Tara inisiatif memeluk ibunya "Ibu jangan menangis, Tara juga ikut sedih. Tara janji akan jadi anak yang berbakti, untuk Ayah, Ibu, dan juga negeri ini. Tara akan meneruskan perjuangan Ayah bu, Tara janji. Saat Tara besar, Tara tidak akan melupakan ajaran-ajaran yang selalu Ibu tanamkan pada Tara, untuk selalu bisa menghargai sejarah. Seperti yang Ibu katakan, sejarah lah yang membentuk kita menjadi insan yang tangguh. Tara janji akan membuah Ibu dan Ayah bangga" ujar Tara sambil memeluk ibunya, tangannya menggengam erat kalung pemberian Ayahnya, berharap ia bisa memeluk Ayahnya, meski hanya sekali.

"Kamu anak yang hebat, Tara, Ayah pasti bangga padamu. Ibu percaya kamu bisa, sini, ibu pakaikan kalungnya. Kamu harus berjanji, untuk selalu menjaga dan merawat kalung ini, sampai kapanpun, ya? Kalau Tara sudah besar dan punya keluarga, Tara juga harus mengajari anak Tara nanti untuk selalu bersyukur atas perjuangan kemerdekaan Indonesia, bisa?" balas Maryam.

"Bisa bu!" Tara tersenyum sambil menatap wajah Ibunya. Mereka berdua saling bertatap, tersenyum, dan berpelukan seakan tidak bisa terpisahkan oleh apapun juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun