Mohon tunggu...
Vanessa Kristina
Vanessa Kristina Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Corong Media Massa dan Suara Kaum Difabel: Sudahkah Pers Kita Inklusif?

22 September 2020   11:28 Diperbarui: 22 September 2020   11:45 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jakarta (18/09) Difabel merupakan keterbatasan diri baik dari segi fisik, mental, maupun kognitif. Sering kali kelompok masyarakat yang difabel mendapatkan stigma dari masyarakat, sehingga sulit bagi kaum difabel untuk menunjukan potensi diri dan tampil di depan publik. 

Oleh karena itu, media massa yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat tentu memiliki kekuatan untuk mendobrak stigma-stigma yang ada di masyarakat tersebut. Akan tetapi, apakah media massa sudah mengangkat isu-isu dan mempengaruhi masyarakat mengenai isu-isu difabel, serta memberikan kepada para penyandang difabel akses yang memadai dan inklusif untuk menyuarakan suara mereka?

Dengan adanya digitalisasi media massa tentu membuat media semakin mudah diakses. Hal ini dapat kita lihat dikehidupan sehari-hari kita, seperti  lahirnya situs dan channel berita baru di internet seperti opini.id, remotivi, tirto.id dan yang lain sebagainya. 

Tak hanya sampai situ, media cetak raksasa lainnya seperti Kompas dan Tempo pun pada akhirnya turut beradaptasi dalam dunia digital. Tentunya invoasi yang dilakukan media massa dewasa ini tidak hanya sebatas  upaya digitalisasi semua arsip media dan manajemen website, tetapi juga memunculkan platform yang interaktif dimana para pembacanya bisa saling berinteraksi, yaitu melalui media sosial.

Dewasa ini juga sudah cukup banyak artikel jurnalisme yang mengulas tentang isu-isu difabel yang sedang marak, seperti isu kenyamanan trotoar bagi kaum difabel di Jakarta pada tahun 2018 silam. Kala itu sebagian bear trotoar masih banyak yang dalam kondisi tidak baik, seperti trotoar yang tidak rata, berlubang, dan tidak mudah diakses. 

Selain itu, dilansir dari Republika pada tanggal 4 Desember 2018, guiding block yang dikhususkan untuk para tuna netra terkadang menabrak tiang listrik sehingga malah menyulitkan para penyandang tuna netra. 

Menurut Wakil Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Amin Siahaan sebagaimana yang dilansir oleh tirto.id pada 29 Juli 2018, saat itu memang belum ada trotoar yang mampu mengakomodir sepenuhnya kebutuhan difabel. TIdak hanya itu, regulasi trotoar di Jakarta juga dinilai tidak efektif oleh Faisal Rusdi selaku inisiator Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT), suatu organisasi yang hendak meningkatkan kesadaran publik mengenai hak-hak penyandang disabilitas.

Begitu banyaknya awak dari berbagai media massa yang meliput permasalahan ini sehingga persoalan ini pun mulai menyita perhatian publik. Liputan yang masif tidak hanya menyebarkan awareness mengenai isu yang sedang dialami kaum difabel pada saat itu, tetapi juga mengedukasi warganet mengenai hal-hal baru atau yang belum pernah diketahui banyak orang. 

Misalnya seperti blok timbul berwarna kuning yang lazim kita temui di trotoar. Pada mulanya warganet mengira selama ini blok timbul berwarna kuning tersebut hanyalah sebatas dekorasi saja. Namun setelah isu ini mendapatkan perhatian publik, warganet akhirnya mengetahu blok timbul berwarna kuning yang lazimnya disebut sebagai guiding blocks tersebut ternyata memiliki fungsi untuk menuntun para penyandang tuna netra.

 Bila berkaca dari contoh kasus diatas, kita bisa melihat betapa berpengaruhnya media massa dalam perihal mengangkat isu-isu kepada publik. Dari sini, kita juga sudah bisa melihat bahwasannya media massa sudah mampu menjadi corong bagi para kaum difabel untuk menyuarakan suara mereka. Akan tetapi dalam proses pelibatannya, kaum difabel masih belum dilibatkan secara maksimal dalam dunia jurnalistik.

Dilansir dari Tempo.id pada tanggal 25 Juni 2020, Ketua Komisi Dewan Pers Asep Setiawan mengatakan akses penyandang disabilitas atau difabel terhadap media massa masih sangat rendah. Menurutnya berdasarkan indeks kemerdekaan pers pada tahun 2019, akses masyarakat ifabel terhadap media masih di atas 18 sampai 20, dimana ranking ini masih merupakan ranking yang rendah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun