Mohon tunggu...
Valentino Barus
Valentino Barus Mohon Tunggu... Editor - Laki-laki, tinggal di Jakarta Timur, berkeluarga (istri, dengan dua anak)

Sarjana Hubungan Internasional, lulusan UGM, minat terhadap masalah-masalah sosial politik dan kemasyarakatan. Hobbi: jalan-jalan dan berenang Berkarya di bidang penerbitan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada Dilematis

26 September 2020   19:17 Diperbarui: 26 September 2020   19:32 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely." 

Adagium klasik yang dicetuskan oleh Lord Acton ini, seolah menjadi mantra mandraguna bagi para pejuang demokrasi untuk menjaga dan mengawal proses demokrasi agar kekuasaan seseorang senantiasa ditujukan maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Intinya adalah perlu pembatasan kekuasaan, perlu kontrol kekuasaan, baik besaran maupun jangka waktu berlangsungnya kekuasaan seseorang.

Pemikiran dan keyakinan politik seperti itu jugalah kiranya yang mendasari para aktifis pro-demokrasi, untuk terus mendorong perlunya pergantian/rotasi kepemimpinan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal secara berkesinambungan.

Pada masa normal, pendapat dan keyakinan tersebut sungguh merupakan keniscayaan karena sudah jamak pengalaman yang menunjukkan betapa kekuasaan yang tak terkontrol dan tak terbatas, rentan terperosok ke jurang KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). 

Pengalaman pahit masa lalu, khususnya di masa Orde Baru yang sarat tampilan "demokrasi seolah-olah", telah mendorong perlunya pembatasan masa kepemimpinan politik seseorang, dan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) secara langsung oleh rakyat. Hasilnya, Indonesia telah melahirkan 5 (lima) presiden, dan begitu banyak gubernur, bupati, dan walikota di 22 tahun era reformasi.

Secara formal, kita berbesar hati betapa pelaksanaan demokrasi, relatif berjalan aman, teratur dan berkesinambungan. Kita juga kerap bangga menyandang predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. 

Namun, secara substansial, kita masih patut mempertanyakan, apakah rakyat sudah semakin cerdas dalam menyeleksi dan memilih pemimpinnya? Apakah sistem pemilu kita sudah semakin baik dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas, yang bertanggungjawab dan melayani rakyat?

Pertanyaan-pertanyaan di atas ini, menjadi semakin wajar melihat betapa banyak kepala atau pemimpin daerah dan nasional yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK di masa reformasi ini.

Demokrasi Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 telah memaksa Pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020. Pilkada yang semestinya dilaksanakan pada September 2020, diundur hingga tanggal 9 Desember 2020 untuk pemungutan suara berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.5/2020. 

Penetapan PKPU tersebut tentu didasarkan pada prediksi bahwa ancaman virus Covid-19 sudah menurun dan dapat dikendalikan. Kenyataannya, akhir-akhir ini virus tersebut justru semakin mengganas dan meluas. Dari hari ke hari terjadi pemecahan rekor jumlah yang tepapar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun