Mohon tunggu...
Valencya Poetri Widyanti
Valencya Poetri Widyanti Mohon Tunggu... -

Pemikiran itu seperti parasut, ia tidak dapat berfungsi dengan baik jika tidak mengembang.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tersembunyi Ujung Jalan

27 Juli 2014   20:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

13

Akhir Jalan

“An, huntingnya jangan jauh-jauh ya? Capek aku! Lagian mendung begini, malas banget kalau kehujanan.” kataku pada Anti.

Kami terus berjalan menuju MTR stasion Mongkok. Ini adalah minggu terakhirku di Hongkong, Sabtu depan aku akan pulang. Memulai kembali kehidupanku di tanah air.

“Ke Causeway bay aja. Ada pameran bunga di Victoria Park, pasti banyak krisan warna-warni disana. Oke!” Anti menjawab sambil mengedipkan sebelah matanya.

Mendengar krisan, tentu saja aku langsung semangat. Seolah tak lagi peduli dengan langit yang baru saja menetes. Kurogoh hape di saku celanaku.

“Kutunggu di Victoria Park, ada pameran bunga.

Gak usah dandan heboh, kita motret bunga, bukan dirimu,

hahahaha... |”

Tak lupa kutautkan juga tiga emo melet sebelum menekan tombol sent. Tujuannya, tentu saja Rien, model gratis yang selalu sadar kamera.

Sesampainya di taman, kami berpencar supaya bisa memotret lebih banyak. Sejam kemudian kami bertemu di salah satu sudut stand pameran. Di sana sudah ada Rien. Kami saling menunjukkan hasil jepretan, termasuk juga beberapa sosok lelaki yang kami incar secara sembunyi-sembunyi. Di antara kami, tentu saja Rien yang sangat antusias pada gambar-gambar lelaki.

"Ini mah, biasa!" katanya "Nah! Itu tuh, coba zoom!" terus seperti itu.

Pada salah satu jepretan, aku benar-benar dibuat terpukau. Seekor serangga yang hinggap tepat pada kelopak krisan kuning, terlihat begitu hidup. Awesome! tajam dan cantik. Aku tahu, bukan hanya teknik yang diuji untuk mendapatkan hasil seperti itu, melainkan juga kesabaran dan ketepatan menangkap momen.

Serta merta kugandeng tangannya. “Aku mau itu! Di mana motretnya?Ayo, ke sana lagi!”

Kami bergegas dengan langkah lebar, sementara Rien terseok-seok mengikuti dengan sepatu hak tingginya.

Syukurin, dah dibilangin juga, hihihi. umpatku dalam hati.

Ah...ramai sekali stand ini, aku menunggu hingga berapa lama supaya aku dapat mengambil gambarnya secara eksklusif. Tapi apa daya, lalu-lalang orang berkali-kali menggagalkannya. termasuk seorang pria bertopi yang bolak-balik mendekat ke pot bunga yang ingin kubidik.

Hayaaa, Koko lam yan canhai kemsui keh, hanglei hanghoi, ngo ying em to siong la...” seketika bibirku manyun. Sebal pada sosok lelaki yang terus menerus mondar-mandir, membuatku tak bisa mengambil gambar.

Kulihat Anti pun demikian, nyengir kuda. “Gasak wae, Mbak!” katanya mengompori.

Sik. rung tau dislenthak jaran ancene wong iku, wkwk...” kataku seraya menyelempangkan kamera ke belakang dan melangkah menghampiri sosok itu.

Sir, excuse me. Would you please...

Seketika suaraku tercekat, berhenti di kerongkongan saat pria itu menoleh. Darahku terpompa dengan begitu cepat ke arah kepala, membuat lututku gemetaran.

Tuhan, mimpikah ini... sementara pria itu juga tak kalah terkejutnya dari aku. Matanya kian membulat. “Debi...debi! Is it you” Katanya terbata dengan postur yang membeku.

Sesaat kemudian, tangannya terentang. Aku menghambur, menjatuhkan diri dalam pelukannya. Aku tak lagi peduli dengan puluhan, mungkin ratusan pasang mata yang tiba-tiba saja memata-matai.

Hide-ku! Akhirnya kutemukan juga.

“Aku tak bisa menghubungimu. Tsunami itu...”

“Aku sedang menuju Minami sewaktu tsunami itu terjadi, Debi. Seperti ada firasat, aku mengajak Ibu pulang ke apartoku. Hapeku tertinggal di sana. Memang, tak ada lagi yang bisa diselamatkan, tak ada yang tersisa, termasuk nomormu.” Katanya seraya menuntunku menepi dari keramaian.

Anti dan Rien menyalaminya. Aku lebih banyak diam, diam dalam kebahagiaan. Berulangkali Hide menatapku dengan sangat lekat, Seakan ingin menuntaskan kerinduannya, sampai habis.

“Sabtu depan aku pulang. Kontrakku sudah habis.” kataku.

“Benarkah?Besok aku kembali ke Akita, Debi. Segera kuurus visaku. Tunggu disana, aku akan melamarmu secepatnya. Aku tak mau lagi kehilangan kamu.” katanya lembut namun penuh kepastian.

Aku tersipu. tanganku mencari-cari sesuatu dalam tas. “Aku menunggumu, bawa kembali pin ini kepadaku.” kuserahkan pin bergambar kami itu kepadanya.

Ia menggenggamku erat tatkala rintik-rintik kecil mulai menghujami bumi, pertanda musim semi telah hadir.

Seperti di hari lalu, aku semakin percaya, musim semi adalah musim penuh cinta. Untukku juga untuknya.

Cinta sejati serupa sungai jernih yang mengalir membelah perbukitan, membentur cadas bebatuan, tapi ia selalu menemukan jalan menuju muaranya.

~O~

T A M A T

Ilustrasi:fotografi.asia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun