Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sahabat Kecil

25 Juli 2021   20:06 Diperbarui: 25 Juli 2021   20:17 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alm Nico, Foto: Cahyo

Saat ini banyak kabar tentang kehilangan sahabat karena pandemi. Turut berduka, turut kehilangan. Saya juga kehilangan salah satu sahabat dini hari tadi, Ade Ivan namanya. Sahabat lucu dan menginspirasi. Damailah di surga, Ade.

Pertama kali saya kehilangan sahabat adalah 33 tahun yang lalu di waktu SMP, namanya Nico. Mengapa baru saya tulis sekarang? Karena Alm Ade lahir tahun 1988 di saat Nico meninggal. Ketika melihat tahun lahir Ade, melayanglah ingatan saya pada perasaan kehilangan di tahun 1988.

Saya mengenal Nico sejak kecil karena kami satu gereja, tapi baru lumayan dekat ketika kelas V SD karena sekelas. Waktu itu saya tidak merasakan dia sebagai sahabat walaupun pergi ke sekolah bersepeda bersama tiap pagi. Sering cerita ngalor ngidul tentang sepeda, sekolah, kegiatan gereja dan keluarga kami. Orang tua kami juga cukup dekat karena berkegiatan bersama di gereja.

Saya merasa dia sahabat saya ketika dia tidak ada, kembali ke surga. Waktu itu kabarnya dia pergi keluar kota dan berenang. Entah karena kram atau kelelahan, dia tenggelam. Dalam perjalanan ke rumah sakit, dia dinyatakan meninggal. 

Saya kehilangan karena ternyata setelah dia tidak ada, tidak ada yang marah-marah kalau saya melawan orang tua saya. Tidak ada yang menuntut saya untuk melihat pertunjukan musiknya. Tidak ada yang rajin menyuruh saya aktif di kegiatan sekolah ataupun gereja. Dia salah satu dari sekian orang yang mengubah sikap dan perilaku saya di masa remaja. Setelah kepergiannya, saya seperti sendirian menghadapi pilihan-pilihan di dunia ini.

Terakhir permintaannya adalah dia minta saya menonton permainan drumnya di perpisahan SMP yang baru saja dikuasainya. Dia sudah menjadi jawara gitar dan flute. Saya hampir melewatkan itu karena waktunya bersaing dengan acara TV yang lebih asik. Kalau ingat itu, kadang saya masih merasa bersalah. Pada momen itu juga pertama kali saya mengenal perasaan dan kata menyesal.

Baru saya sadari juga kalau dia sahabat karena nilai-nilai NEM kami sama persis sampai di koma-komanya. 

Waktu lulus SD, kami janjian akan masuk ke SMP swasta yang sama karena nilai NEM kami sama. Tapi nasib berkata lain, orang tua saya mendaftarkan saya ke sekolah negeri. Saat pertama kali bertemu Nico setelah lulus SD, dia marah karena saya dianggap berkhianat. Dia tetap sekolah di SMP swasta impian kami yang kebetulan ibu saya mengajar di sana. Ibu yang menjelaskan kepada dia alasan kenapa saya sekolah di negeri, bahkan dia lebih tahu alasan itu daripada saya. Setelah itu kami baikan lagi.

Lalu ketika lulus SMP pun nilai NEM kami juga tetap sama persis walaupun kami beda sekolah. Ajaib, kan?
Namun sampai saat ini saya tidak pernah tahu pilihan SMAnya karena dia meninggal di bulan Juni setelah kelulusan SMP. Kami belum sempat membicarakan akan melajutkan SMA di mana karena setelah peristiwa SMP yang berbeda itu, kami seakan tabu bicara tentang pilihan sekolah.

Setelah meninggal pun, Nico tetap bisa mengubah mindset saya. Tentang makam. Kebetulan Nico dimakamkan di pekuburan yang dekat sekali dengan SMA saya. Dulu waktu SMA, kadang kalau sedang pengin cerita, sepulang sekolah saya mampir ke makamnya untuk ngobrol sampai sore. Dia membuat saya tidak lagi takut dengan makam dan nisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun