Mohon tunggu...
Andi Surya Mustari
Andi Surya Mustari Mohon Tunggu... Administrasi - Statistisi

Merangkai hikmah yang berserak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Satu Data Indonesia

28 Januari 2018   04:34 Diperbarui: 28 Januari 2018   07:57 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Data dan informasi di kementerian dan lembaga masih simpang siur dan tidak akurat, demikian disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada medio 2016 yang lalu. Sejak pertama kali menduduki kursi presiden, Jokowi mengalami kesulitan dalam memilah dan menggunakan data.

Kondisi itu tidak banyak berubah hingga awal tahun ini. Akibatnya, penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan menjadi tidak maksimal. Kasus yang masih hangat adalah persoalan data pangan.

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mensinyalir adanya masalah pada data produksi padi dan stok beras. Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan maupun Badan Urusan Logistik (Bulog), menggunakan sumber datanya masing-masing untuk menjalankan programnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga membenarkan data beras yang selama ini belum menyatu. Akibatnya, kebijakan pangan senantiasa memicu kontroversi. Contoh lainnya adalah masalah data kependudukan.

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Ditjen Dukcapil) dan Badan Pusat Statistik (BPS) selalu merilis angka berbeda. Bahkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga merilis datanya sendiri.

Padahal, data kependudukan adalah data dasar yang sangat penting. Apalagi pada tahun politik ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat mengandalkan data kependudukan untuk kegiatan besar kehidupan demokrasi.

Data yang sama bisa dikumpulkan beberapa instansi yang berbeda dan menghasilkan angka yang berbeda pula. Sulit untuk menentukan data mana yang lebih akurat, karena masing-masing dikumpulkan menggunakan metode yang berbeda dan tidak terstandar.

Tiap instansi mengklaim datanya lebih baik dan benar. Padahal, klaim tersebut muncul semata karena kekuatan regulasi atau penggunaan konsep yang lebih sesuai dengan kebutuhan internal organisasinya. Masalah lain adalah mengenai keterbukaan dan penggunaan data.

Walaupun tersedia di hampir setiap instansi, data sulit diperoleh atau bahkan ditemukan karena prosedur bagi-pakainya yang tidak jelas.  The Open Data Inventory menempatkan Indonesia pada urutan ke-84 dari 173 negara dalam hal keterbukaan informasi. Indonesia memperoleh nilai 39 pada skala 100 yang berdasarkan pada tingkat ketersediaan data, kelengkapan metadata, kemudahan untuk dipilih, dibaca, dan diunduh, serta kebebasan dipergunakan kembali.

Melalui tulisannya di Jakarta Post, 7 Desember 2017, Yanuar Nugroho, deputi Bidang Pengelolaan dan Kajian Program Prioritas pada Kantor Staf Presiden, menggambarkan detail kesimpangsiuran data serta pentingnya membangun Satu Data Indonesia.

Melalui pemahaman bersama, dukungan dan komitmen kuat berbagai pihak, sistem Satu Data Indonesia dapat memaksimalkan pelaksanaan program dan capaian pembangunan. Kesadaran untuk membangun sistem satu data juga pernah menjadi bagian dari sejarah Inggris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun