Mohon tunggu...
Andi Surya Mustari
Andi Surya Mustari Mohon Tunggu... Administrasi - Statistisi

Merangkai hikmah yang berserak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Statistik Disabilitas yang Layak

12 September 2017   05:29 Diperbarui: 12 September 2017   05:35 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah sepuluh tahun berlalu, tepatnya sejak tanggal 13 Desember 2006, PBB mengeluarkan konvensi tentang hak-hak Penyandang Disabilitas. Konvensi bertujuan untuk melindungi, menghormati, memajukan dan menjamin hak-hak kesetaraan dan kebebasan fundamental bagi penyandang disabilitas. Pemerintah Indonesia pun ikut menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 30 Maret 2007. Pemerintah kemudian meratifikasinya menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.

Salah satu butir kesepakatan dalam konvensi tersebut adalah bahwa negara berjanji untuk menghimpun informasi yang tepat, termasuk statistik dan data penelitian mengenai penyandang disabilitas. Statistik yang akurat akan sangat berguna untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pemerintah untuk mendukung butir-butir konvensi.

Pendataan menyeluruh yang valid sangat penting sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas secara maksimal dan tepat sasaran (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2014). Mengingat sangat beragamnya jenis kebutuhan khusus bagi penyandang disabilitas, maka pemenuhannya pun menjadi tidak sama dan tidak bisa diseragamkan.

Kenyataannya hingga saat ini, pengumpulan data dan statistik Disabilitas yang layak belum juga terwujud. Pendataan masih dilakukan secara parsial oleh masing-masing lembaga, sesuai kebutuhannya masing-masing. Kemensos misalnya, melakukan kompilasi data dari dinas-dinas dan panti sosial untuk kepentingan penyaluran bantuan sosial. Sementara Kemenaker mengumpulkan data disabilitas untuk kegiatan pelatihan Ketenagakerjaan. Begitu pula dengan Kemenkes, serta instansi lainnya. Data yang dikumpulkan bersiko untuk saling tumpang tindih, tidak terkoordinasi, serta mengandung perbedaan konsep yang mendasar.

Ketika berbicara tentang data statistik hasil survei dan sensus, jurang perbedaannya bisa semakin lebar. Pada setiap kesempatan rapat koordinasi, perbedaan data statistik Disabilitas selalu menjadi perdebatan. Kemenkes merilis angka prevalensi disabilitas sebesar 11% dari penduduk usia 15 tahun ke atas. Angka tersebut merupakan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka yang jauh berbeda, hasil Sensus Penduduk 2010 memperlihatkan angka 4,74% dari penduduk usia 10 tahun ke atas. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012 memperlihatkan angka 2,45%.  Pada tahun 2015, BPS juga mengumpulkan informasi penyandang disabilitas melalui Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS). Adapun secara global, World Health Organization (WHO, 2011) merilis angka prevalensi Disabilitas sebesar 15% dari seluruh populasi dunia.

Memahami Statistik Disabilitas

Perbedaan data antar institusi sangat dipengaruhi oleh metodologi yang digunakannya. Pada berbagai kajian dan survei yang dilakukannya, WHO menggunakan konsep International Classification of Functioning (ICF).

Konsep tersebut menjelaskan bahwa disabilitas dipandang sebagai kesulitan atau keterbatasan fungsional dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Dengan kata lain, disabilitas tercipta dari interaksi antara kesulitan fungional seseorang dengan lingkungannya (Adioetomo, 2013).

Pemahaman yang kuat tentang statistik dan konsep disabilitas adalah sangat penting. Pemahaman yang salah akan memiliki implikasi yang besar, terutama bagi petugas enumerator survei. Jika petugas masih membawa cara pandang lama bahwa disabilitas adalah kecacatan, maka ia akan membangun tembok pemisah dengan responden.

Bahasa tubuh dan tatapan mata, misalnya pandangan kasihan atau bahkan sinisme, akan menjadi hambatan utama dalam melakukan wawancara. Akibatnya, responden cenderung menyembunyikan kondisi dirinya maupun keluarganya sehingga informasi penyandang disabilitas menjadi under reported. Perlu diingat, hasil wawancara satu responden saja akan mempengaruhi keseluruhan hasil pendataan, karena ia merupakan data sampel. Apalagi jika yang bermasalah adalah petugas yang harus mewawancara beberapa responden.

Untuk mengatasi hal tersebut, Washington Group on Disability Statistics (WG, 2004) telah merancang konsep kuesioner khusus untuk survei disabilitas. Kondisi Disabilitas dijaring dengan menggunakan pertanyaan.  Pertanyaan-pertanyaan tersebut diantaranya adalah, apakah mengalami kesulitan melihat, mendengar, berjalan atau menaiki tangga, mengingat atau berkonsentrasi, mengurus diri sendiri, atau berkomunikasi menggunakan bahasa sederhana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun