Gelas kaca itu telah pecah. Hancur tak berbentuk lagi. Pecahannya berserakan di lantai dengan noda merah dipinggirannya. Apakah itu darah? Tapi tak berbau anyir. Atau hanya jus tomat yang tak sengaja ikut tertumpah di atasnya?
Memandang lagi gelas kaca di hadapanku dimana dulu kau berikan gelas ini kepadaku dan mengatakan tuk menyimpan hatimu di dalamnya. Tuk menyimpan hatiku di dalamnya. Mengaduknya menjadi satu dengan tongkat kehidupan dan kita namai minuman itu dengan cinta.
Tapi minuman itu tak pernah berhasil memberikan rasa ternikmat di dunia, tak pernah berhasil memberikan rasa termanis di dunia. Seringkali kita tak mengaduknya dengan benar hingga rasa yang ku kecap hanya getir dan pahit. Aku ingin tahu apa yang kau rasa saat minuman itu menyapa lidahmu. Kutanyakan padamu dengan mata memicing. Kau tersenyum seraya berkata " Manis"
Memang seharusnya rasa minuman itu manis, hanya saja aku tak merasakannya. Apa ada yang salah dengan lidahku? atau kau berdusta tuk sekedar memuaskanku dan menghentikanku bertanya. Kutatap dalam-dalam matamu mencari dan terus mencari kebenaran di dalamnya. Kamu kembali tersenyum dan membelai halus kepala ku. "Rasanya manis sayang, sungguh manis"
Kini gelas itu telah berserakan dilantai, minuman itu telah menghilang di telan bumi. Meninggalkan noda pada karpet bulu kesukaan kita. Ku pandangi detik jam di ruang tamu kita. Jarum nya rasanya berputar mundur. Terputar kembali adegan beberapa saat yang lalu. Saat aku datang dengan membawa sedikit madu untuk di tambahkan dalam minuman kita. Seperti biasa kulakukan agar minuman kita terasa makin manis. Kau duduk di kursi kesayangan kita sambil menatap minuman itu.
Kau menatap ku seraya berkata, "tak usah lagi kau tambah madu. Karena sejak awal ia tak berasa manis dan tak kan pernah berasa manis. Sebanyak apapun kau tambahkan madu." Aku menatapmu penuh tanya. Mulut ku terbuka, begitu banyak tanya yang ingin ku lontarkan padamu. Tak ada satu katapun yang tercipta. Dan kau kembali memalingkan wajahmu dan menatap minuman kita.
Warnanya kini bagai darah, merah menyala, tapi baunya tak sesegar dahulu kala awal kita membuatnya. Aku mendekatimu dan mencoba mengajakmu mengaduk kembali minuman kita menambahkan sedikit madu. Kau sangat tahu aku tak kan berhenti hingga ku ciptakan rasa manis itu. Kau mengambil madu dari tanganku, melemparnya keluar jendela. Menatapku dengan penuh amarah. Aku terdiam dan terduduk lemah di kursi kita.
Tak ada rangkulan, tak ada kecupan. Kau biarkan aku jatuh terkulai. Kau ambil gelas kaca kita, aku bangkit dan mencoba meraihnya. "Itu gelas kesayangan kita!" teriakku.
Kau mendorongku dan kini gelas kaca itu telah berserakan di lantai, dengan sedikit noda di atasnya, bukan darah karena tak berbau anyir. Mungkin jus tomat yang tak sengaja tertumpah di atasnya.
D. Flori N.
070414