Masalah eksploitasi dan pelanggaran terhadap hak-hak anak tidak lagi menjadi isu yang asing. Pasalnya, permasalahan ini terus terjadi di berbagai negara dan hingga kini belum menemukan titik penyelesaian.
Eksploitasi anak yang kini banyak terjadi tidak hanya berkaitan dengan masalah perdagangan anak tetapi juga secara paksa menjadikan anak-anak di bawah umur sebagai tenaga kerja layaknya orang dewasa.
Maraknya pemberdayaan anak sebagai pekerja muncul pertama kali pada tahun 1700-1800 di Amerika Serikat. Anak-anak dipaksa bekerja dilingkungan yang tidak sehat dengan upah yang tidak layak diterima.
Praktik eksploitasi anak sebagai pekerja tidak seharusnya dibenarkan, namun peristiwa semacam itu sukar terjadi apabila tidak ada konsensus dari pihak sang anak. Kemiskinan hingga kini masih menjadi faktor paling mempengaruhi.
Pemaksaan yang terus berlanjut, mengorbankan banyak waktu dan kesehatan para pekerja anak. Aktivitas tersebut pada akhirnya menyebabkan pergeseran pada kesehatan fisik dan mental mereka.
Melalui berbagai penelitian diterima data yang mengatakan bahwa anak yang terlibat dalam tenaga kerja memiliki status kesehatan yang rendah. Jam kerja yang gila merusak imunitas tubuh mereka.
Selain itu, kekerasan yang diterima oleh anak pada saat mereka bekerja dapat mempengaruhi kondisi mental mereka, sehingga sering kali mengalami gangguan psikologis yang menuntun anak melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, seperti merokok dan menggunakan substansi ilegal.
Akan tetapi sejak tahun 1924, deklarasi tentang hak-hak anak telah dilakukan Liga Bangsa-Bangsa. Bersamaan dengan hal tersebut, anak-anak sebagai manusia mempunyai hak-hak untuk diakui dalam hukum internasional.
Deklarasi tersebut mengakui secara lebih umum bahwa hak-hak manusia dapat meliputi beberapa hal, seperti bebas dari eksploitasi, abuse dan kekerasan. Hal-hal ini berlaku bagi seluruh manusia, tak terkecuali anak-anak.