Mohon tunggu...
Siti Uswatun Khasanah
Siti Uswatun Khasanah Mohon Tunggu... Editor - Novelis dan editor

Menulis dan menyunting, sejalan seirama

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Tradisi Jam Karet Sulit Dihilangkan?

9 November 2022   09:14 Diperbarui: 9 November 2022   09:19 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Tiba-tiba, ingin membahas tentang satu hal yang sepertinya sudah usang ini gara-gara melihat berita tentang keterlambatan seorang wali kota yang diundang ke sebuah festival anak hingga ada anak yang pingsan, diduga karena kelaparan dan kelelahan menunggu.

Berkali-kali, tanpa henti, nasihat supaya kita tepat waktu didengungkan. Akan tetapi, sepertinya belum ada perubahan yang berarti di segala sisi.

Sering kali, kita menghadiri sebuah acara. Contohnya, di undangan tertera waktu rapat dimulai pukul 9.00 WIB.  Realitasnya, tepat pukul 9.00, tamu undangan belum hadir satu pun. Hingga akhirnya, acara baru dimulai satu jam berikutnya. Itu pun peserta belum lengkap. Luar biasa ya Indonesia-ku. Hehe, luar biasa ngaretnya.

Ironisnya, budaya ngaret justru sering dilakukan oleh kaum pemilik pangkat. Jujur, saya merasa heran mendapati kenyataan tersebut. Mengapa mereka yang 'berpunya' malah terkesan menyepelekan waktu? Idealnya, sosok yang menerapkan kedisiplinan kelak akan mudah jadi orang sukses. Namun, kita lihat saja ke lapangan. Kenyataannya, orang-orang penting sering hadir belakangan. Ya, meskipun tidak semua seperti itu.

Satu contoh kasus baru terjadi beberapa hari yang lalu di Mojokerto. Sebuah festival anak saleh di kota itu mengundang wali kotanya untuk menghadiri acara tersebut. Tak disangka, sang wali kota hadir sangat terlambat. Sejak pukul 7.00, anak-anak sudah hadir. Bahkan, sebagian besar belum menikmati sarapan dan tidak diperbolehkan oleh panitia untuk membawa bekal karena dikhawatirkan akan mengotori tempat berlangsungnya acara. Mungkin, menurut panitia, anak-anak itu pasti sudah makan sebelum berangkat dan diprediksikan acara akan selesai pada pukul 10.00. Hingga hanya menyediakan snack yang dibagikan pada pukul 10.00. Hanya snack berupa wafer dan air mineral, tanpa makan siang.

Tiba siang hari, anak-anak itu ternyata masih menunggu dengan menanggung lapar dan lelah sampai akhirnya ada yang jatuh pingsan. Sungguh kasihan. Sekitar seribu anak berusia antara 4-6 tahun yang berjubel dalam sebuah ruang itu harus menunggu berjam-jam demi sang pejabat yang akhirnya tiba sekitar pukul 12.00.

Seorang wali dari anak yang mengikuti kegiatan tersebut mengatakan, panitia juga menganjurkan kepada para orang tua untuk memakaikan pamper kepada anak mereka supaya tidak perlu bolak-balik ke toilet karena kapasitas yang tidak memadai. Orang tua juga tidak diperbolehkan mendampingi peserta dan hanya boleh menonton acara tersebut melalui streaming YouTube. Acara itu bertempat sebuah hall yang dijaga ketat dan dihadiri oleh siswa-siswi TK dari berbagai daerah. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya orang tua yang ingin mencari anaknya, yang mungkin terpikir untuk diajak pulang.

Sungguh memprihatinkan. Orang tua saja akan merasa jemu jika harus menunggu terlalu lama, apalagi anak-anak yang dalam kondisi lapar, haus, dan lelah. Pantas saja, banyak warganet yang mendesak sang wali kota untuk segera memberikan klarifikasi atas kejadian tersebut.

Jika sudah begini, bagaimana anak-anak akan mendapatkan contoh yang baik jika orang tua yang mereka lihat saja tidak berlaku selayaknya panutan? Suka atau tidak, seperti itulah potret negeri kita. Bahkan, kita mungkin juga menjadi pelaku jam karet.

Apa sih sebenarnya yang menyebabkan orang-orang punya kebiasaan terlambat? Faktor kesibukan mungkin menjadi alasan utama. Namun, seandainya kita terbiasa disiplin dan menghargai segala sesuatu, termasuk hal sekecil apa pun itu, maka kemungkinan kebiasaan terlambat bisa diminimalisasi.

Jangan biarkan orang lain menunggu kalau kita tidak suka dibuat menunggu. Yuk, lah, setidaknya kita mulai berbenah secara bertahap jika tak mampu seketika mengubah total kebiasaan buruk itu. Dimulai dari sendiri, mulai dari sekarang, dan mulai dari hal yang kecil.

Salam hangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun