Mohon tunggu...
Ustadzi Hamzah
Ustadzi Hamzah Mohon Tunggu... Freelancer - Penggiat studi agama, peminat isu sosial-keagamaan, golek dalan supaya ndalan

Tinggal di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Religius di Masa Pandemi Virus

16 Mei 2020   07:36 Diperbarui: 16 Mei 2020   07:36 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejak November 2019 dunia dikejutkan dengan wabah baru yakni Coronavirus Disease-2019 (Covid-19) di Kota Wuhan, China. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi novel corona virus jenis baru yang sebelumnya menyebabkan penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang juga pertama muncul di kota Guangdong, China tahun 2002.

Penyakit Covid-19 ini sebelumnya juga disebut dengan Sars nCov-2, namun World Health Organization (WHO) kemudian secara resmi menamainya dengan Coronavirus Disease-2019 (Covid-19). Dari China penyakit ini menyebar ke 213 negara, termasuk Indonesia, dengan total manusia yang terinfeksi 4,520,401 orang, dengan jumlah kematian 303.042 orang (data dari www.worldometers.info/coronavirus per 15 Mei 2020).

Sebagai manusia yang beragama yang dapat menghayati keagungan Allah Sang Pencipta, kita dituntut untuk merespon wabah Covid-19 ini dengan kedalaman penghayatan pula. Peristiwa wabah ini merupakan keniscayaan yang secara riil telah terjadi di hadapan kita.

Secara sederhana kita akan meresponnya dengan sebuah sebutan “musibah dan bencana”, karena memang kejadian ini merugikan manusia secara fisik dan non-fisik, kerusakan sistem sosial, atau bahkan kematian jiwa. Betul sekali, kejadian ini adalah sebuah bencana, namun ketika kita menghayatinya dengan kedalaman hati kita akan dapat memperoleh jawaban dari pertanyaan, “mungkinkah Allah akan membuat sengsara hamba-Nya dengan musibah dan bencana ini?”.

Dalam buku Can God Intervene? (2007), Gary Stern menjelaskan tentang nalar agama, termasuk Islam, ketika dihadapkan pada peristiwa kebencanaan. Nalar agama di sini dimaksudkan sebagai perspektif theo-anthropocentric (scientific cum doctrine) dalam menjelaskan kejadian yang menimpa kita. Artinya, bagaimana agama secara rasional dapat menjelaskan peristiwa kebencanaan dalam “semesta kejadian” dan dapat dicerna secara rasional. Stern menyebutkan bahwa seluruh ajaran Islam bertumpu pada satu konsep etis, yakni tauhid.

Tauhid memberikan pemahaman bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Baik dan pemilik dan penguasa mutlak kehidupan segala sesuatu, sementara makhluk –termasuk manusia, adalah titah yang harus mengerti serta tunduk kepada Allah Zat Yang Menguasai Kehidupan tersebut. Ibn Taymiyyah, sebagaimana dikutip John Hoover, menjelaskan bahwa seluruh aturan dan kekuasaan Allah tersebut selalu didasarkan pada sifat rahmah [kasih sayang] Allah (rahman dan rahim), dan merupakan kehendak (iradat) Allah semata (Hoover, 2007: 76).

Di dalam al-Qur’an Allah telah memberikan pengetahuan kepada manusia dalam memahami kehidupan, yakni bahwa kehidupan di dunia ini merupakan sebuah fase dari perjalanan kehidupan yang panjang. Sebelum kehidupan dunia terdapat kehidupan alam rahim dan alam arwah, sedangkan setelah kehidupan dunia akan ada kehidupan alam barzakh dan alam akhirat. Kehidupan di dunia dan berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan ujian dari Allah. Ujian selalu datang, baik yang berupa sesuatu yang baik-baik (hasanât) begitu pula yang tidak baik (sayyi`ât). Ujian tersebut datang kepada semua orang, baik yang saleh atau pun tidak saleh (QS. al-A’raf [7]: 168).

Dalam pandangan Allah sejatinya semua yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah “baik”, karena tidak mungkin Allah berbuat zalim kepada titah-Nya (QS. al-Anfal [8]: 51; al-Hajj [22]: 10). Jika pun ada pandangan bahwa sesuatu itu tidak baik, hal itu berasal dari persepsi manusia sendiri karena tidak mengetahui dan menghayati ketauhidan dengan benar (QS. al-Nahl [16]: 30). Meskipun dipersepsikan sebagai sebuah “keburukan” sebuah peristiwa pasti mengandung hikmah yang merupakan “kebaikan” bagi kita semua.

Andai kata sebuah peristiwa mendatangkan kematian, maka bagi orang yang bertakwa (QS. 16: 30) itu pun sebagai sebuah “kebaikan”. Hal ini didasarkan pada ajaran Islam bahwa kehidupan manusia merupakan perjalanan panjang menuju alam akhirat, sehingga kematian merupakan satu fase untuk menuju ke sana. Dengan demikian, berdasarkan cara pandang ketauhidan, kematian bukan merupakan suatu “keburukan” tetapi sebagai ujian untuk menaikkan derajat manusia, karena ia merupakan iradat Allah. Kita saja yang terkadang mempersepsikannya sebagai sebuah keburukan.

Terkait dengan wabah Covid-19, peristiwa ini juga merupakan sebuah ujian bagi manusia. Sebagai orang yang menghayati ketauhidan secara mendalam, hal itu merupakan sebuah “kebaikan”, yakni pada hikmah yang terkandung di dalamnya. Salah satu hikmahnya adalah keikhlasan dan kesabaran. Keikhlasan dimaknai sebagai sebuah kesadaran bahwa wabah ini merupakan iradah (kehendak) Allah Swt. Kesabaran dimaknai sebagai sebuah “tindakan aktif” untuk menghadapi ujian wabah Covid-19.

Bentuk kesabaran dari adanya wabah Covid-19 ini dalam bentuk tindakan fisik adalah sikap kita untuk selalu hidup bersih, sering cuci tangan, kehati-hatian dalam menjaga kesehatan, dan lain sebagainya. Adapun kesabaran dalam tindakan non-fisik adalah lampah ratri lan dzikir wengi (munajat di malam hari), berdoa tawakkal kepada Allah, dan ikhtiar hati. Upaya-upaya kita dalam menghadapi wabah ini merupakan sebuah “jihad”, dan ini adalah “kebaikan” itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun