Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendengarkan Kata Hati, Sulitkah?

23 November 2019   08:14 Diperbarui: 23 November 2019   08:20 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
clipart-library.com

Oleh Usman D.Ganggang*)

Belakangan ini, begitu banyak orang yang tidak sabar. Begitu ada masalah, langsung diambil tindakan dalam artian,  dibalas dengan masalah. Padahal tidakan ceroboh itu, akibatnya fatal. Ujungnya, banyak yang jadi korban hingga meregang nafas. Meskikah kita lupa kehadiran kata sabar yang dapat dijadikan, patokan untuk kemudian, "apa kata hati?"

Tanpa mengecilkan cerita  orang lain, sejatinya  kita harus mendengarkan apa kata hati kita sendiri. Ini penting diperhatikan, karena fakta riil di lapangan  kita dominan mendengarkan kata orang terkait sesuatu yang urgen tinimbang apa kata hati kita snediri.a[alagi kalau sudah dibuat 'geer' orang lain seperti telah membawa kita ke angin surga, disanjung-sanjung hingga kita lupa diri.

Pertanyaan mengganjal,:"Apakah ketika disanjung  akan menjadi rembulan malam yang  bisa menerangi kita?  Atau apakah ketika kita direndahkan akan menjadi sampah masyarakat? Oleh karena itu, pertanyan di atas harus dijawab tegas dan tuntas : 'tidak'. Alasannya, tidak mungkinlah kita jadi rembulan atau jadi sampah masyarakat. Itulah sebabnya kita harus satu langkah, untuk teruslah melangkah selama kita masih di jalan yang benar, meskipun diakui dalam perjalanan itu, dijumpai belokan tajam dan membahayakan. Intinya kita sadari, jalan yang benarlah yang membuat kita selamat baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Mendengarkan kata orang boleh-boleh saja, tapi kita jangan jadi jadi sekedar pendengar yang baik. Kita punya hati, karena itu ketika mendengarkan kata orang lain, seharusnya kita juga mendengarkan kata hati kita sendiri untuk memilah dan memilih mana yang patut diikuti mana pula perkataan yang harus ditolak. Intinya, jangan risaukan  omongan orang lain yang terkadang membawa kita ke arah kesesatan. Sekali lagi, tetaplah berjalan di jalan yang lurus dan benar, meski terkadang kebaikan tidak selalu dihargai orang.

Sayang sekali, dalam kenyataanya, kita sering mengiyakan kata orang meski perkataan atau ajakannya salah. Mengapa demikian? Pasalnya, kita takut kalau orang lain merendahkan kita. Padahal kalau dicermati dengan njelimet, direndahkan orang tidak mungkinlah kita jadi sampah.  Begitupun jika kita disanjung-sanjung , ujungnya apakah kita bakal jadi rembulan malam? Tentu tidak!  Hiduplah seperti  air yang mengalir. Di sana ada kejernihan di sana pula ada kekotoran, ya mengalir sajalah. Tentu diusahakan jernihnya yang dominan tinimbang kotornya. Menghapuskan yang kotor memang  susah juga. Tetapi kita tetap berprinsip, dalam hidup, tetap ada dosa tuh.

Mestilah disadari bahwa  menghindari yang kotor (dosa)  memang ada kendalanya, tapi  kita harus berusaha : kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas itu harus. Tak perlu repot menjelaskan tentang siapa kita sebenarnya, sebab yang menyukai kita tak butuh itu,  dan yang membenci kita tak percaya itu. Resepnya gampang,"Banyak orang yang tidak senang/suka kepada kita, itu diakui, tapi perlu dicatat, tidak sedikit juga yang suka/senang kepada kita", begitu kata bijak orang bijak di sekitar kita

Dikaui memang, terkadang kita itu, terbius dengan sanjungan pihak lain. Akibatnya kita lupa diri. Akibat lanjutannya kita jatuh pada lumpur yang kotor. Mestilah kita sadari bahwa hidup itu, sebuah proses dan karena sebuah proses, mengapa pula k kia berkeinginan  cepat kaya?.  Cepat kaya boleh-boleh saja, tapi bukan dengan dengan cara yang tidak halal. Apakah mata kita  sengaja ditutup dengan adanya berita korupsi para koruptor?  Hidup itu bukan tentang  siapa yang terbaik, tetapi yang benar adalah siapa yang mau berbuat baik. "Jika Anda didzalimini orang lain, jangan berpikir  untuk membalas dendam, tapi berpikirlah dengan kebaikan", demikian kata teman penulis.

Apa yang diungkapan teman penulis itu benar adanya. Terkadang kita ketika didzalimi, segera berikir untuk balas dendam. Segera membuat laporan untuk diteruskan ke yang berwajib.Padahal ada kata yang sedang dilupakan di sini, yakni kata "sabar". Kata orang bijak, "Sabar akan jadi subur".  Bukan malah, "Sabar ada batasnya", kata orang yang tidak sabar dalam menghadapi sebuah masalah. Tapi orang beriman," Sabar itu tak ada batasnya". Kalau begitu langkah praktis?  Iya, harus dengar kata hati, ujungnya harus sabar ketika masalah datang ke rumah kita.

Kesabaran itu perlu disambut, dengan baik. Sebab kalau dirunut dengan baik , siapakah yang mengundang masalah?  Faktanya, selain dari pribadi kita sendiri tentu saja juga datang dari pihak lain. Di sini  hukum alam, seperti sebab-akibat  atau akibat-sebab, sering terjadi.  Jadi perlu introspeski diri, ketika masalah datang harus dicarikan sumbernya dari mana?  Kata teman penulis, "Sabar itu menerima dahulu kehadiran tamu yang bernama 'masalah' sebelum kita melepaskannya", urainya sembari menambahkan," Sebab kita tak akan  mudah melepas sesuatu yang belum kita terima.Masalah itu mudah berpamitan jika kita sudah jamu dengan 'bersyukur'.

Pernyataan teman penulis di atas, jika dicermati dengan kata hati, seharusnya kita terima dengan tangan terbuka. Pasalnya jika kita berburu nafsu, begitu ada masalah langsung dibalas, dan kita lupa dalam perkalihan itu, misalnya, kita belum tahu, siapa yang tewas nantinya.  Ini namanya, membabi buta. Atau, meskipun lawan kita yang tewas, belum berhenti sampai di situ, selanjutnya pastilah kita berhadapan dengan hukum. Ujungnya,  akan duduk terdiam di hotel prodeo. Maukah kita seperti itu? Jawabannya tidak!  Tentu diawali dengan mendengarkan apa kata hati kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun