Mohon tunggu...
Yus Mei Sawitri
Yus Mei Sawitri Mohon Tunggu... -

Suka membaca dan menulis sejak kecil....Hobi jalan-jalan, nongkrongin toko buku dan nonton sepak bola...:)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Anak Pantai Mawun

31 Maret 2011   13:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:15 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebut saja nama mereka Novi, Chepi, Deguk dan Jani. Dari kejauhan saya melihat kaki-kaki kecil mereka berlari penuh semangat menginjak bulir-bulir pasir putih yang membingkai Pantai Mawun. Ocehan riang dan tawa lepas seolah berbalas nada dengan derap kaki mereka. Antusias dan gembira. Ya, keempat anak Pantai Mawun itu sudah tak sabar menyapa laut mereka. Pantai indah berbalut air biru dan deretan bukit di ujung sana.

Ketika deburan air terasa di kaki, mereka sontak menanggalkan semua pakaian di badan. Tak sehelai kain pun tersisa. Dengan kepolosan itu, mereka pun bercengkrama dengan laut mereka. Deguk, Chepi, Jani dan Novi tak sedikitpun gentar menantang hentakan air. Maklum, mereka bukan anak-anak biasa yang menimba keahlian berenang di kolam buatan tangan manusia. Mereka berempat dididik oleh alam. Siapa guru yang lebih baik selain alam? Tak heran, gerakan mereka begitu lincah, tanpa irama beraturan dan tak sedikitpun mirip teori dasar renang di buku panduan. Chepi dan kawan kawan hanya mengikuti naluri.

[caption id="attachment_98011" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama anak-anak Pantai Mawun"][/caption] Sontak saya pun terbius. Perlahan langkah tertarik mendekati mereka. Berbekal  kamera pinjaman di tangan, saya mengabadikan keceriaan mereka. Kegembiraan apa adanya, tanpa tendensi. Sapaan pun terlontar. "Pintar sekali kalian berenang. Belajar di mana? Ajarin dong. Kakak yang sebesar ini saja tidak bisa berenang," kata saya membuka percakapan. Semula saya mengira mereka akan takut menjawab. Saya kan orang asing. Ternyata tebakan saya meleset. Mereka rupanya bukan anak-anak pemalu. "Masak tidak bisa renang. Kamu sini saja, kami ajari. Gampang kok," jawab si Novi, yang memanggil saya tanpa embel-embel mbak atau kakak.

Percakapan pun mengalir. Mereka adalah anak-anak sekitar Pantai Mawun, Lombok Tengah (NTB), yang hampir setiap hari datang menyapa pantai indah itu. Tiga anak sudah sekolah, kecuali si Jani. Satu-satunya cowok di antara mereka berempat, serta yang paling kecil. Saya pun protes dipanggil "kamu" oleh mereka. "Sama orang yang besar manggilnya mbak ya," pinta saya. Mereka menurut. Tapi betapa kagetnya saya ketika sebuah kalimat melunncur dari bibir Novi. "Mbak minta uangnya dong. Sepuluh ribu saja. Buat jajan. Mbak pasti punya banyak uang," cetus Novi.

Waduh kok jadi gini. Sontak saya jawab, tak ada uang. Deguk dan Chepi mengompori. Mereka terus meminta uang. Ya Tuhan, siapa yang mengajari mereka jadi peminta-minta begini? Mengapa anak-anak berani dan lincah dengan entengnya mengemis uang kepada orang asing? Saya berusaha menjawab dengan bijak. Walaupun saya benar-benar tidak tahu jawaban bijaksana seperti apa yang harus diucapkan.

"Kalian sudah pernah ke Jawa belum. Rumah kakak ada di sana?" tanya saya.

"Belum mbak. Jawa itu jauh ya? Kalau ke sana naik apa?" sahut Novi, anak yang paling berani diantara teman-temannya.

"Jauh. Kalian harus naik pesawat. Bayarnya mahal. Mau main ke Jawa? Belajar yang pintar ya, biara nanti kalau sudah besar bisa kerja dan punya uang banyak. Jadi gak perlu minta-minta sama orang. Gak baik. Ingat tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi lebih baik daripada menerima," kata saya sekenanya.

Novi belum menyerah juga. "Tapi minta uangnya dulu ya. Buat jajan," katanya ngeyel. Eh ternyata ucapan saya tadi betul-betul diabaikan. Hehehe. Saya pun hanya tersenyum. "Katanya sudah sekolah. Aku tes ya. Beritahu dong nama presiden Indonesia. Namanya siapa coba?" tanya saya. Mereka pun saling lirik sambil tertawa renyah. Akhirnya jawaban spontan pun terlontar dari bibir Novi. "Presidennya kamu." Kami pun tertawa ngakak bersama-sama.

[caption id="attachment_98015" align="alignnone" width="300" caption="Anak-anak Pantai Mawun Berenang dan bercengkrama dengan teman saya...."]

13015783461072990058
13015783461072990058
[/caption] [caption id="attachment_98017" align="aligncenter" width="300" caption="Bertiga"]
13015785041776839880
13015785041776839880
[/caption] [caption id="attachment_98019" align="alignnone" width="300" caption="Menulis"]
13015786281943420500
13015786281943420500
[/caption] [caption id="attachment_98021" align="alignleft" width="150" caption="Kacamata hitam"]
13015788101962796243
13015788101962796243
[/caption] [caption id="attachment_98026" align="alignright" width="150" caption="Kacamata hitam"]
13015789761814530754
13015789761814530754
[/caption] Lelah bercengkrama, saya pun melangkahkan kaki menjauhi pantai. Menuju gazebo tempat teman-teman saya melepas lelah. Ternyata anak-anak tersebut mengikuti di belakang. Saya pun mengarahkan kamera pinjaman saya ke arah mereka. Mereka sangat antusias menghadapi jepretan-jepretan kamera saya. Bergantian mereka bergaya. Gairah Jani dkk semakin berlipat ketika saya meminjaman kaca mata hitam yang semula nangkring di kepala saya. Tanpa malu-malu mereka bergaya dengan centil, kecuali si Jani yang paling pemalu.

Setelah capek bergaya bak model, mereka tetap mengikuti langkah saya. Gagal mendapatkan selembar uang dari kantong saya, Novi pun mengeluarkan jurus pamungkas. "Mbak minta bolpoinnya dong. Buat sekolah," ujarnya dengan intonasi keras seperti biasanya. Kali ini saya luluh. Untung ada sebuah bolpoin di dalam tas. Sambil mengeluarkan bolpoin itu saya berucap. "Beneran ya belajar yang rajin. Nanti biar jadi anak pintar dan sukses. Nanti main ke rumah mbak di Jawa ya."

Jarum pendek jam sudah mengarah ke angka dua. Sudah saatnya meninggalkan Pantai Mawun yang menawan. Juga mengucapkan selamat tinggal pada Chepi, Deguk, Jani dan Novi. Sebaris doa dan harapan saya simpan dan ucapkan dalam hati. Semoga bolpoin yang harganya tak seberapa itu bisa memberikan manfaat. Membantu Deguk dkk supaya suatu saat nanti menjadi seorang pemberi, bukan peminta-minta. Tolong, jangan sampai mereka bermental pengemis. Mereka terlalu berharga untuk melakukan itu.

[caption id="attachment_98033" align="alignnone" width="300" caption="Pantai Mawun"]

13015794521415430702
13015794521415430702
[/caption] [caption id="attachment_98035" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai Mawun "]
13015795881164439532
13015795881164439532
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun