"Maksiat yang melahirkan kehinaan dan kefakiran jauh lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan sombong."
Hikmah ke-106 dari Kitab Al-Hikam di atas memberi sebuah pelajaran penting tentang bagaimana kita memandang dosa dan ketaatan dalam hidup ini.
Pesan ini mengingatkan kita bahwa kadang-kadang dosa yang kita lakukan bisa memberikan efek positif pada kita. Dosa itu justru membuat hati kita tunduk, membuat kita lebih rendah diri, dan menyadarkan kita untuk kembali kepada Allah dengan penuh penyesalan dan permohonan ampun.
Sebaliknya, ketaatan yang dilakukan dengan rasa ujub (merasa bangga dengan amal ibadah sendiri) justru bisa membuat kita terjerumus dalam kesombongan. Dalam Islam, kerendahan hati jauh lebih dihargai dibandingkan dengan prestasi ibadah yang dibarengi dengan kebanggaan diri.
Perasaan Rendah Diri Setelah Dosa: Lebih Baik daripada Kesombongan dalam Ketaatan
Syeikh Abu Madyan mengungkapkan dengan indah, "Inkitsarun lil-'aashi khoirun min wushuulil-muthii'" yang artinya, "Perasaan rendah diri setelah berbuat dosa, itu lebih baik dari kesombongan setelah melakukan ketaatan."
Rasa rendah diri yang muncul setelah berbuat dosa adalah bentuk kesadaran yang datang dari dalam hati. Hal ini akan membuat seseorang segera memohon ampunan-Nya dengan sepenuh hati. Sebaliknya, seseorang yang merasa sombong dengan ketaatan atau amal ibadah yang telah dilakukannya, tanpa sadar jatuh dalam perangkap riya' (ingin dilihat orang lain, ingin dipuji, atau merasa lebih baik daripada orang lain) karena amal ibadahnya.
Sifat sombong ini adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya dalam Islam. Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya mengingatkan:
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari kesombongan." (HR. Muslim)
Maka, meskipun seseorang beribadah dengan tekun, jika itu dibarengi dengan rasa sombong, maka amal tersebut bisa kehilangan nilai di sisi Allah.
Kisah Inspiratif: Pelacur dan 'Abid yang Sombong