Mohon tunggu...
Aniza Ambarwati
Aniza Ambarwati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidik, Penulis, dan mahasiswa magister

A critical person who likes reading, writing, studying, and travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi Nasib GTT/PTT di Hari Pendidikan Nasional

2 Mei 2018   22:49 Diperbarui: 3 Mei 2018   09:17 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan merupakan sektor penting untuk memajukan suatu bangsa. Bangsa yang maju bermula dari kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Sebut saja Finlandia, China, Korea Selatan yang berhasil menguasai dunia dengan teknologi mengalahkan Amerika dan Eropa yang selama ini merajai menguasai dunia, entah dari segi teknologi, perdagangan, ekonomi, dan lain-lain. Pemerintah negara-negara tersebut begitu memperhatikan pendidikan dan merumuskan kebijakan yang tidak asal-asalan. 

Pemerintah Indonesia pun tidak mau kalah dan berdalih selalu berupaya membenahi sistem pendidikan nasional. Berbagai cara dilakukan walaupun denga uji coba. Bagaimana bisa pemerintah membuat kurikulum baru tanpa pengkajian terlebih dahulu terkait kelemahan dan kekuatan kurikulum lama sehingga pembuatan kurikulum baru tanpa penggodokan dan pelaksanaannya pun terkesan dipaksakan. Bisa dibilang kurikulum 2013 sampai saat ini masih mentah. Pemerintah membuat kurikulum tanpa memperhatikan kebutuhan pendidikan di setiap daerah. Kekacauan pendidikan ditambah dengan ambisi pemerintah menerapkan HOTS padahal pendidikan di Indonesia belum merata. Bagaimana kita bisa bicara kualitas jika pendidikan saja masih mengalami diskriminasi. Belum lama ini, pemerintah mengirim guru-guru ke Korea Seatan untuk mempelajari HOTS. Apalah artinya jika HOTS hanya bisa diterapkan oleh sebagian kecil sekolah dan sedikit siswa yang mampu menerapkannya, tidak mungkin seketika meningkatkan peringkat Indonesia dalam studi PISA. 

Masalah pendidikan Indonesia memang begitu kompleks, tidak hanya soal kurikulum. Guru masih menjadi problematika yang tidak selesai. Bukan lagi tentang kesejahteraan majemuk karena sebagian guru sudah menikmati tunjangan sertifikasi. Walaupun kompetensi guru pun masih menjadi masalah yang belum juga selesai. 

Kekurangan guru di berbagai daerah tidak bisa dielak lagi, terutama jenjang sekolah dasar. Disaat tidak ada pengangkatan PNS, pembelajaran di sekolah harus terus berlangsung. Sementara itu PP no. 48 tahun 2005 melarang pengangkatan guru honorer oleh Pemda/sekolah. Tapi dilain pihak, sekolah sangat membutuhkan guru karena jumlah PNS yang tidak memadai. Alhasil, terjadilah pengangkatan guru yang disebut Guru Tidak Tetap (GTT) di sekolah-sekolah negeri. Sayangnya, pengabdian mereka tidak pernah dihargai. GTT bak dijadikan alat bantu untuk menjalankan roda pendidikan di sekolah tapi keberadaan mereka tidak dihargai dan diakui. Bagaiaman bisa dihargai, diakui saja tidak. Kehadiran PP No. 19 tahun 2017 yang merupakan perubahan PP No. 74 tahun 2008 pasal 59 ayat 3 tentang guru, yang berbunyi: dalam hal terjadi kekosongan guru, Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin keberlangsungan proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Sayangnya, pengangkatan ini dilakukan oleh Komite Sekolah yang tidak punya kekuatan hukum apapun. Keberadaan GTT/PTT sangatlah dibutuhkan, diakui kebermanfaatannya tapi mengapa mengakui secara hukum begitu sulit? 

Saya paham, bahwa hal ini akan berdampak pada tanggung jawab Pemda untuk menjamin keberadaan dan kesejahteraan. Mungkin ini yang ditakutkan ketika sebuah daerah (dirasa) tidak memiliki APBD yang cukup. 

Mengapa GTT Sangat Membutuhkan SK? 

Sejak diangkat oleh Komite Sekolah, GTT dan PTT sudah menandatangani surat untuk tidak menuntut diangkat menjadi CPNS dan gaji, berarti tidak ada ketentuan yang melarang GTT menuntut pengakuan dalam bentuk SK. SK pengangkatan guru dari pemangku kebijakan yang memiiki kekuatan hukum, dalam hal ini Bupati atau Kepala Dinas sangat dibutuhkan untuk mengajukan NUPTK. Bahkan, setelah dapodik tidak lagi dipegang sekolah, guru-guru baru ini semakin tidak jelas keberadaannya. Mereka hadir setiap hari, mengisi nafas kehidupan pendidikan Indonesia, memberikan semangat dan senyum, mendidik dengan sepenuh hati, tapi nama mereka tidak tercantum dalam dapodik. Padahal syarat masuk dapodik sekarang ini, harus memiliki NUPTK. Pemerintah membuat aturan tidak logis yang saling bertentangan. Lucu sekali, ketika syarat masuk dapodik harus memiliki NUPTK, sedangkan NUPTK bisa di dapat dengan SK Bupati/Kepala Dinas sedangkan Pemda saja tidak mau memberikan SK. 

Ditengah kegigihan Pemerintah meningkatkan kualitas guru melalui PPG (PPG SM3T, Reguler bersubsidi, dan PPG dalam Jabatan), SK menjadi batu sandungan bagi peserta PPG dalam Jabatan. PPG dalam jabatan ini diundang melalui SIM PKB yang mana nanti peserta akan melakukan pre-test. Setelah lolos pre-test, peserta akan melalui tes administrasi dengans alah satu syarat berupa SK. Pengalaman dari PPG dalam Jabatan tahun lalu peserta yang sudah lolos pre-test tidak bisa melanjutkan ke jenjang test selanjutnya karena syarat tersebut. Disini, Pemerintah memberian harapan palsu lagi. Apakah Pemerintah sudah mempertimbangkan dengan masak-masak mengenai hal-hal tersebut? 

Sejumlah daerah sudah melakukan pengangkatan guru secara resmi seperti kota Semarang sebagai guru kontrak non ASN, Yogyakarta mengangkat guru wiyata Bakti sebagai tenaga kerja lepas harian dengan SK Kepala Dinas, Purbalingga pun sudah mendapatkan SK dan tunjangan daerah, bahkan Cilacap dan Temanggung. Sejumlah daerah yang berani memberikan SK, meski hanya SK dari Kepala Dinas seharusnya bisa menjadi contih bagi Pemerintah Daerah lain supaya berani membela hak-hak GTT/PTT. Bukan justru menjadi musuh dan menggagalkan perjuangan mereka. 

Penulis paham, bahwa pemberian SK ini mungin nanti akan berujung pada penuntutan kesejahteraan yang berarti APBD harus siap dan cukup. Kalau Pemda tidak pernah menyiapkan anggaran untuk menyejahterakan GTT/PTT berarti memang tidak ada niat baik dari Pemda untuk memperhatikan nasib GTT/PTT. Bahkan untuk selembar kertas berupa pengakuan. Yang mereka butuhkan saat ini hanyalah pengakuan. Sesuliit itukah? Atau memang GTT/PTT hanya dijadikan alat bantu. Hanya butuh prioritas untuk bisa memberikan kesejahteraan terhadap GTT/PTT, meskipun tercatat sebagai kabupaten termiskin nomor 2 di Jawa Tengah. Bohong sekali kalau bilang tidak ada dana, sedangkan pembangunan infrastruktur terus saja ada. Semua itu hanya butuh skala prioritas. 

Wahai Pemerintah, dengarlah dan buka mata kalian melihat nasib pendidik negeri ini yang diakui saja tidak apalagi hidup sejahtera. Lirik lagu "Hymne Guru" di bagian akhir masih patut menggunakan kalimat "Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa". Kalau bicara tentang profesionalitas, di daerah justru peran aktif GTT/PTT lebih besar, tanpa mengurangi rasa hormat bahwa banyak PNS yang professional. Ketika mereka sedang berjuang, justru segenap jajaran dinas berupaya menjegal hak-hak mereka untuk memperjuangkan nasib dengan sederet ancaman. Tidak bisakah saling duduk bersama karena pada kenyatannya selama ini, hubungan sekolah dan GTT/PTT saling memberi manfaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun