Mohon tunggu...
Untoro Surya
Untoro Surya Mohon Tunggu... -

Saya seorang pria 30an tahun. Bekerja sebagai pegawai di perusahaan swasta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita tentang Sari

14 Juni 2011   07:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:32 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit.”

“Kalau pahit bener gimana?”

“Ya sudah, diamin aja. Toh nggak ada yang tahu ini”

Perkenalanku dengan Sari terjadi di sebuah warung tenda. Saat itu aku yang masih kuliah sedang makan malam dengan Ardi, teman kos yang juga seniorku di kampus. Sementara Sari bersama temannya duduk di meja lain di warung yang sama.

Tak sengaja beberapa kali aku memergoki mereka curi-curi pandang ke arah kami. Akhirnya aku dan Ardi pun iseng mengajak mereka berkenalan. Yang berambut panjang, kulit putih, dan berwajah manis khas parahyangan, bernama Sari. Dengan kaos hitam ketat dan celana jeans belel, dia kelihatan seksi sekali hingga jujur saja pikiran nakal langsung hinggap di kepalaku. Sementara temannya bekulit sawo matang, sedikit kurus tapi juga manis, bernama Nita. Mengenakan kaos dan rok mini, ia terlihat menarik, terutama kakinya.

Obrolan dengan mereka berlangsung ramai karena mereka suka becanda dan jago nyela. Tak terasa cukup lama juga kami di sana, hingga tiba-tiba Ardi berbisik kepadaku “Ro, kayanya nih cewe bisa dipake nih. Ajak ke kos yuk.”

Ardi memang berpengalaman dalam urusan wanita. Bukan sekali dua kali dia bisa mengajak wanita yang baru dikenalnya ke tempat kos kami. Dan itu semua dilakukannya dengan modal ngomong doang, tanpa memberi imbalan materi. Sedangkan pengalamanku dengan wanita saat itu hanya terbatas sampai dengan ngobrol doang. Aku memang masih lugu untuk urusan ini. Namun rasanya kali ini dia terlalu cepat mengambil kesimpulan tentang kedua wanita tersebut.

“Lo mau digampar, Di? Baru kenal udah mau ngajak mereka yang enggak2?”, ujarku gak yakin.

“Tenang Ro, serahkan ke gue. Feeling gue untuk urusan cewe sangat tajam. Hehehe…”

Ardi kemudian menawarkan diri untuk mengantar Nita dan Sari pulang dengan mobilnya. Sebuah tawaran yang langsung mereka terima. Dengan sigap Ardi langsung menarik Sari yang lebih cantik untuk duduk di sampingnya di depan. Semetara aku dan Nita duduk bersama di belakang.

Di mobil, sambil berputar-putar tak tentu arah, Ardipun mulai menlancarkan jurus-jurus andalannya untuk melakukan pendekatan pada Sari sambil tangannya mulai nakal hinggap di paha Sari. Tak ada penolakan dari Sari, yang ada malah tawa renyah dan canda. Sementara aku hanya terdiam di kursi belakang sambil berusaha menebak apalagi yang akan terjadi. Nita sendiri yang di sampingku hanya diam dan kelihatan bete banget. Entah sengaja pasang muka bete agar aku tidak berbuat yang sama dengan Ardi, atau malah bete karena aku hanya diam saja.

Setelah melihat respon Sari selama di mobil, akhirnya Ardi mulai blak-blakan mengajak Sari nginap ke kos kami. Tepat yang diucapkan Ardi tadi, Sari memang bisa dipake. Sedangkan Nita yang bete akhirnya minta diturunkan di jalan dengan alasan besok pagi ada keperluan penting.

Tiba di kos, Ardi langsung mengajak Sari ke kamarnya sementara aku masuk kamarku sendiri. Kucoba langsung tidur tapi sulit karena tawa mereka yang terdengar sayup sayup di kamar sebelah memaksa otakku membayangkan apa yang sedang mereka lakukan.

Entah sudah berapa lama mereka di kamar, tiba-tiba Ardi mengetuk pintu kamarku sambil menyeringai puas.

“Mantap Man. Bodinya OK banget walaupun perutnya rada bucit dikit. Hehe… Eh, barusan dia nanyain lo juga. Dasar maniak tuh cewe. Gue suruh dia ke kamar lo aja yah? Pokoknya malam ini lo harus melepas keperjakaan lo!”

Terus terang walaupun banyak teman-teman seusiaku saat itu yang sudah melakukan seks bebas, namun aku gak pernah tergoda untuk ikut-ikutan karena takut dosa. Malam ini rasa takut dosa itu sudah hilang ditelan nafsu. Namun untunglah masih ada rasa takut kena penyakit yang menahan diriku. Gaya hidup Ardi yang sering tidur dengan wanita yang baru dikenalnya tentu meningkatkan resikonya terkena penyakit kelamin. Apalagi menurut pengakuannya ia sangat jarang memakai pelindung. Aku jadi ngeri “make” wanita yang udah tidur dengan Ardi.

Akupun menjawab “Makasih Di, gue ngantuk. Lo pake sendiri aja deh”

“Ya sudah. Tapi jangan nyesel yah!”, ujar Ardi sambil kembali ke kamarnya.

ooOoo

Beberapa beberapa minggu setelah kejadian malam itu, aku kedatagan seorang tamu. Hendra, teman waktu SMP di Jakarta yang sekarang juga kuliah di Bandung. Anak sholeh, sopan lagi pintar yang ayahnya adalah seorang guru agama dan ibunya adalah pengurus pengajian ibu-ibu di lingkungannya.

Hari itu ia membawa kabar yang mengejutkanku. Hendra mengaku pacaran dengan seorang gadis yang tinggal di sekitar tempat kosnya. Cinta pertamanya itu ternyata berkembang terlalu jauh, hingga Hendra yang lugu itupun khilaf dan pacarnyapun hamil.

Sebagai lelaki bertanggung jawab, Hendrapun menemui orang tua gadis itu untuk melamar anaknya, walaupun orang tuanya sendiri tidak menyetujui pernikahan itu.

Minggu depan Hendra akan menikah. Pernikahan yang sepi. Tidak ada pesta bahkan tidak ada pula keluarga dari mempelai pria. Sedangkan dari pihak wanita hanya hadir orang tua serta beberapa orang keluarga dekat karena sangat mendadak dan malu karena perut mempelai wanita katanya sudah buncit duluan.

Agar pernikahan tersebut tidak terlalu memprihatinkan, akupun mengkoordinir rencana acara selamatan kecil2an setelah akad nikah. Yang diundang hanya beberapa teman dekat. Makanan dipesan dari catering yang murah, dokumentasi pakai kamera milik salah satu tamu, tempatnya juga minjem ruang pertemuan di kelurahan. Dananya? Hasil patungan teman-teman dekat. Sedangkan uang si penganten kami suruh simpan saja untuk mas kawin dan tabungan untuk bayi mereka nanti.

Saat ijab Kabul tidak bisa kuhadiri karena ada urusan keluarga yang juga penting, namun aku masih sempat hadir saat selamatannya. Tiba di tempat selamatan, aku langsung mencari Hendra untuk mengucapkan selamat dan berkenalan dengan istrinya yang belum sempat kutemui sebelumnya.

Hendra tampak sumringah melihat kehadiranku. Setelah menerima ucapan selamat dariku, iapun langsung memperkenalkan aku pada istrinya “Ini Toro, sahabatku waktu SMP dulu. Ro, ini Risa yang sekarang jadi bu Hendra. Huahahaha…”

Beberapa detik aku sempat bingung melihat istrinya karena merasa pernah bertemu sebelum. Dan akhirnya aku kaget sendiri setelah ingat kalau dia adalah Sari yang pernah kutemui dulu. Sepertinya diapun juga kaget walaupun sama denganku, kami tetap berusaha tenang.

Sempat mulut ini terasa gatal buat mengungkapkan kebenaran yang kuketahui pada Hendra, namun ada rasa takut. Takut membuat sedih Hendra yang tampak gembira hari itu, takut pula bila ceritaku malah dianggap fitnah olehnya. Akhirnya kuputuskan untuk diam saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun