Mohon tunggu...
Un.Sriwahyuni
Un.Sriwahyuni Mohon Tunggu... -

Penyuka rak buku, langit, dan taman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Luka pada Lupa

9 April 2019   21:24 Diperbarui: 9 April 2019   21:38 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jemariku menekan tombol ponsel dengan lincah. Nomor telepon tersebut telah kuhapal mati di luar kepala. Nama kontak tertera di layar ponsel. Aku menunggu dengan sabar, sampai bapak mengangakat telepon di seberang.

"Assalamualaikum, Bapak"

"Walaikumsalam"

"Kabarmu di sana baik, Nak?"

Tentu bukan hanya untuk sekedar bertanya kabar tujuan teleponan kami. Sebab itu telah saya  lakukan beberapa hari lalu semenjak saya berada di kota kabupaten saat liburan sekolah. Berangkat dari kampung yang tak memiliki signal telpon membuat saya harus menyicil ungkapan rindu untuk disampaikan sejak hari pertama hingga hari liburan usai di tempat ini. Percakapan Awal itu hanya basa - basi saja sebelum membicarakan hal-hal pilu yang kutahan. Pun jika ditanya demikian, jawaban yang paling jujur adalah tentu tidak baik-baik saja.

Sore itu saya sengaja berjalan-jalan mencari udara segar untuk siap melakukan panggilan saat suasana hati terasa baik. Menjadi seorang anak yang ceria tanpa beban di perantauan.

Kali ini bapak ingin saya bercakap dengan ibu melalui telepon genggamnya. Meski saya harus berpura-pura baik-baik saja menjawab telepon dengan nada suara yang tidak boleh parau. Beberapa detik kemudian suara ibu mulai terdengar dari sebrerang. Telepon genggam bapak kini telah berpindah ke tangan ibu.

Aku menahan napas, mendengarkan. Ada aliran yang berdesir hebat di jantungku, sesak menahan kesedihan.

"Ibu" aku memulai percakapan dengan nada ceria.

"Iya siapa?" Ibu bertanya dengan suara bingung

"Ini saya, anak pertama Ibu", saya memperkenalkan diri dengan intonasi suara yang masih harus terdengar ceria-hati siapa yang tidak pilu ketika harus meperkenalkan diri pada Ibunya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun