"Pemilih akut." Tuduh mereka tanpa fondasi.
"Biarin. Daripada punya suami penunggu rumah. Nafkah tiada, perhatian pun tak didapat." Lathifah ngakak. Matanya berbinar. Senyuman lebar.
"Tersinggung? Jangan! Kau yang mulai." Ia menyambar sebelum amarah rekannya berkobar. Si penjulid terhenyak. Wajahnya masam dan berlalu pergi. Tersebab merasa tersindir. Lathifah pun tertawa lepas tanpa beban.
"Hidupmu penuh derita. Karna masih sendiri." Ledek yang lain.
"Yap. Tak sebahagia engkau yang diperbudak anak dan diselingkuhi suami?" Lathifah tersenyum kecut, menampilkan kesedihan semu.
"Eit, dilarang ngamuk. Kau yang mulai." Ia memperagakan gerakan pendekar siaga bertarung.
Si penjulid cemberut. Mukanya merah padam. Berlalu pergi dengan gerakan mulut komat kamit tak jelas.
"Coba pacaran. Agar dapat jodoh sekilat anakku." Seseorang menyarankan.
"Maksudnya serupa anak bapak kemaren? Pergi pagi, pulang pagi. Nikah Januari, lahiran Juni?" Tanya Lathifah wajah polos. Mimik mukanya serius dibuat-buat.
Si sumber saran terkesiap. Kilat amarah terlihat nyata di matanya.. Absurdnya, Lathifah lari terbirit-birit sambil teriak, "Takuuutt!" diiringi tawa lepas.