Nah, jika makanan ini tersaji di dua meja yang berbeda dan anda berada di posisi siswa, mau memilih sajian yang mana?
Tentu memilih sajian yang terlihat menarik dong. Tampilan memikat, aroma menggoda. Dapat dipastikan rasanya begitu lezat dan menggoyang lidah. Sajian seperti ini tentu akan diburu tanpa diminta. Sajian ini akan dicari tanpa perlu ada unsur paksaan.
Nah, bagaimana dengan nasib sajian yang terlihat biasa saja tercium aroma sedikit gosong. Tentu ini tak akan disentuh kecuali terpaksa. Karena tak ada pilihan lain.
Inilah sesungguhnya yang terjadi pada praktik pembelajaran hari ini di lapangan. Terkadang dengan santai, kita sebagai seorang guru hanya membawa sebuah buku paket pembelajaran ke kelas yang diampu. Suasana pembelajaran madang masih kaku. Semua berpusat pada guru.
Lalu berpetatah petitih berdasarkan buku paket tersebut. Memberikan tugas meringkas materi, memberi tugas latihan dalam jumlah yang banyak pada siswa. Akibatnya siswa cenderung bosan dan mulai mengantuk.Â
Hingga tak jarang terdengar keluhan dari mulut siswa. Sekolah bagai penjara. Tugas-tugas mereka begitu membanjir. Akhirnya minat belajar menurun drastis. Gadget pun menjadi pelarian.Â
Lebih mirisnya lagi, kadang orangtua turun tangan mengerjakan tugas sekolah siswa. Ini cukup menggelitik. Jika siswa memperoleh nilai tinggi dari tugas tersebut, nilai milik orangtua dong. Bukan milik siswa. Secara, yang mengerjakannya adalah orangtua. Hehehe
Akan berbeda halnya ketika guru masuk ke kelas tak hanya bebrbekal buku panduan belaka. Namun juga dengan berbagai media yang menarik, yel-yel hingga game yang berkaitan dengan materi pembelajaran pun diangkut.Â
Selain itu, guru juga memposisikan diri sebagai sahabat siswa. Berusaha menyentuh hati mereka, memahami mereka, masuk ke dunia mereka.Â
Semua itu digunakan untuk memfasilitasi penyampaian materi ajar pada siswa.Kemudian perlahan menarik dan mengarahkan mereka untuk menjadi manusia yang seutuhnya dengan akhlak dan karakter yang kukuh. Menurunkan durasi ceramah, menghindari sikap marah-marah pada mereka.Â
Cenderung memberi peluang pada siswa untuk berkeluh-kesah seluas-luasnya. Menerima setiap pendapat, kritik dan sara dari mereka dengan lapang dada. Selagi itu di batas aman dan wajar.Â