Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan Saat Wabah, Menjadikan Rumah sebagai Pusat Ibadah

24 April 2020   12:59 Diperbarui: 24 April 2020   13:26 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : freepik.com

Hawa kesejukan mulai dirasakan. Saat ramadan menyapa dari balik bilik kehidupan. Waktu kian mendekap asa. Kala desir angin belum jua menyingkap catatan cerita.

Terselubung tanya, sanggupkah kita bertahan pada masa yang tengah digariskan? Tentu, kita harus hadapi kenyataan. Meski dihadapkan pada sehampar keterbatasan. Pun penyelesaian yang masih enggan diungkapkan.

Wabah. Rupanya belum jenuh singgah. Hingga tangan-tangan tak henti menengadah. Namun kiranya wabah masih terasa betah. Hadir bagai sedang menunaikan tugas. Wabah pun bergerak asyik menjelajah, seakan belum tuntas. Menembus ruang tanpa batas.

Mencari jiwa-jiwa untuk diserang. Hingga tak henti menyerang. Lantas bagaimana menghentikan? Bila waktu terus saja berjalan. Lalu apa pula yang hendak dikatakan? Jikalau bulan suci tetiba datang. Namun wabah masih saja bersarang.

Marhaban Yaa Ramadan. Begitulah Dia berbisik. Suara langit hadir di tengah hati yang terusik. Meski pandemi masih saja mengusik. Namun diri tak henti menyelisik. Yakin masa ini hadir, tentu agar kita bisa menjadi lebih baik.

Tahun ini sapa ramadan memang begitu berbeda. Terasa tak seperti biasa. Tak ada saling jumpa. Apalagi mengunjungi sesama. Peluk hangat orangtua pun para saudara. Semua hanya sebatas lewat layar gawai bersua.

Tersebab wabah yang melanda. Kini semua dianjurkan untuk di rumah saja. Pun menjaga jarak terhadap sesama. Hal ini tentu agar korban tak bertambah banyak. Dan wabah pun segera lenyap.

Kenyataan ini harus dilewati. Meski hati kian mendera sunyi. Saat kaki masih terhenti. Rumah ibadah pun terasa sepi. Terkunci. Hingga tak terlihat jamaah hadir menghampiri. Tatap begitu pedih, mengulur segala perih.

Hanya terdengar adzan sebagai penanda waktu dikumandang. Lepas itu larut kembali dalam kesunyian. Rupanya alam tak henti bergumam. Hingga diri sepenuhnya faham.

Malam ramadan yang seharusnya berhias cahaya bulan. Harus terganti remang pelita di keheningan malam. Bahkan rintik hujan tetiba hadir turut merasakan. Begitu syahdunya getaran alam saat ramadan datang di tengah wabah yang menyerang.

Cermin-cermin seakan dipajang. Agar kita bisa saling memandang. Begitu banyak yang telah kita lakukan pada kehidupan. Kiranya ini bagian teguran Tuhan. Agar kita lebih bisa berlapang. Dan menahan diri dari segala bentuk cobaan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun