Bagian 13
"Apakah Ratih sudah boleh pulang suster?" Juna tak sabar membawa Ratih pulang ke rumah.
"Pak Juna, ingatan Bu Ratih memang sudah mulai pulih, namun beliau masih perlu istirahat beberapa lama di sini. Pak Juna sabar dulu ya," seorang perawat mencoba menjelaskan pada Juna.
"Baiklah...," gurat kecewa Juna begitu jelas terlintas. Juna tak tega melihat Ratih berlama-lama di tempat seperti ini. Sungguh jauh dari kata nyaman. Hati Juna begitu tertekan.
Rasanya Juna ingin menebus segala kesalahan. Menyia-nyiakan Ratih dalam kesendirian adalah hal bodoh yang tlah dilakukan. Wanita berhati mulia ini sejatinya tak tau apa-apa. Bagaimana jalan hidupnya  bukan dia yang mengaturnya.
Jikalau ada khilaf, wajar. Manusia tentu tak luput dari beragam kesalahan yang terhampar. Begitu pun Ratih, bagai sebatang kayu yang rapuh. Tak layak kiranya mengabaikan hingga merasa tersisih dan menjauh.
"Maafkan aku Ratih, karena akulah kau jadi seperti ini. Aku salah. Tentu saja aku yang salah," batin Juna teriris memandang istrinya yang masih tertidur pulas di ranjang rumah sakit jiwa. Juna sontak menolak ketika ajuan menceraikan Ratih hadir kepadanya. Sebab dia merasa kesalahan buka berpihak pada Ratih sepenuhnya. Namun lebih pada dirinya.
Seharian Ratih meraung dan mengamuk sebelum pada akhirnya ingatannya pulih saat hujan malam itu. Juna terus saja menunggu, namun Ratih masih terlelap dalam mimpi hingga pagi belum jua membuka mata. Terlalu capek, tentu saja.
Tetiba jemari Ratih bergerak perlahan. Pun kedua bola mata terbuka lebar. Dilihatnya Juna tengah duduk di samping ranjang.
"Ayo bangun sayang, kamu harus makan lalu minum obat," suara lembut Juna membuat Ratih semakin bergegas beranjak lalu mencoba duduk tegak.