Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Petuah yang Terulang

27 Januari 2020   15:18 Diperbarui: 28 Januari 2020   18:29 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: Thinkstockphotos)

Pulang sekolah, aku sungguh lelah. Sudah pasti kurasakan penat sangat. Membuatku ingin segera berebah. Meletak sejenak beban dalam rehat sesaat.

"Nduk, tasnya dirapikan dulu. Jangan lupa cuci tangan dan kaki. Lalu makan, baru istirahat. Kan lebih enak kalau sudah bersih. Dari luar pasti debu menyebar," Ibu mengingatkanku dari balik pintu.

"Njih Bu," jawabku singkat. Kepalaku sudah semakin berat, namun aku harus ikuti nasehat.

Ibu paling tak suka kalau aku menaruh tas sembarangan. Pun sepatu dan baju kotor tak diletakkan pada tempat yang sudah disediakan. Intinya ibu tak mau rumah berantakan. Apalagi sampai beterbangan debu hingga sudut ruangan.

Yup. Akhirnya kuselesaikan apa yang jadi petuah. Badanku semakin lelah. Saatnya untuk berebah. Sungguh indah.

Sore hari, aku kembali mempersiapkan diri. Ahay. Saatnya ekstra tentu hal yang kerap dinanti.

"Bu, aku mau berangkat Pramuka dulu," teriakku memanggil Ibu. Rupanya Ibu tlah menunggu di serambi tak jauh dari pintu.

"Jangan lupa jaket dan masker. Di luar masih banyak debu. Udara juga sudah semakin dingin," kembali ibu mengingatkanku.

"Ah, Ibu ini ekstra kan paling cuma sebentar, enggak lama juga sudah pulang," rajukanku mulai muncul. Aku gerah, juga malu, baju Pramuka memuat banyak atribut. Memakai jaket satu hal yang membuatku kalut. Baju seragam pastilah kusut. Hadeeh.

"Jangan membantah, kalau tak nurut apa kata ibu, batukmu itu lho Nduk," pinta ibu serius menatapku.

"Hmmm njih Bu siap laksanakan," lagi lagi aku tak bisa menolak perintah.

"Kalau sudah selesai lekas pulang, udara malam tak baik tuk kesehatan," petuah ibu pun terulang lagi. Entah untuk yang kesekian kali.

***

"Un, ibumu itu baik banget ya. Sangat perhatian sama kamu. Enak bener ya kalau ibuku juga seperti itu," tiba tiba ucapan Lusi mengagetkanku.

"Ah biasa saja. Malah aku merasa ibu terlalu berlebihan padaku. Petuahnya selalu diulang-ulang," jawabku menimpali.

"Enggak juga lah, yang jelas itu demi kebaikan kamu. Ingat kan sewaktu kemah Minggu lalu. Dini hari kamu tiba-tiba sakit. Kami semua panik. Ternyata alergimu kambuh. Bahkan kami tak tau harus berbuat apa agar kamu lekas sembuh. E ternyata kamu memang punya obat khusus, dan kamu lupa membawanya," ucapan Lusi mengingatkanku pada kisah yang tlah lalu.

"Iya ya, benar juga. Waktu itu aku tak patuhi petuah ibu. Aku lanjut berangkat kemah tanpa mengecek barang bawaanku. Padahal ibu sudah mengingatkanku. Bahkan berulang. Ah, seandainya aku tau kejadian itu bakal merepotkan banyak orang. Maafkan aku ya Lusi," jawabku sembari urai senyum pada Lusi.

Senyumku kali ini sebagai tanda aku semakin menyadari. Betapa pentingnya petuah ibu yang terulang. Tentu semua demi kebaikanku. Juga orang-orang di sekitarku.

***

Dua puluh tahun kemudian.

"Mas jangan lupa jaket, masker, dan minyak kayu putih," aku tak henti mengingatkan putra sulungku yang hendak pergi berkemah. Haha satu kegiatan yang dulu aku pun menyukainya. Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

"Siap Bu, sudah aku masukkan semua ke dalam ransel," jawabnya singkat, namun tetap patuhi nasihat.

"Udara dingin di sana tak bisa ditebak. Badanmu masih kuat atau tidak. Hanya kamu yang bisa menebak. Saran ibu, kalau sudah tak kuat menyingkirlah ke pos jaga biar tak tidur di tenda pasti lebih hangat di sana," petuahku tak henti kulanjutkan.

"Iya Bu. Tapi kalau gak ada pos jaga gak apa-apa kok tidur di tenda. Kan cuma semalam saja," ucapan sulungku sempat menimbulkan kekhawatiran. Sebab udara dingin yang menyerang bisa saja membuatnya terluka dan tumbang. Dia sepertiku dulu. Ah sudahlah. Dia pasti lebih mengerti. Yang penting aku tak henti mengingatkan.

Kuantar putraku hingga ke gerbang sekolah. Di sudut ruang aku terdiam. Tetiba ingatanku kembali mengurai wajah ibu. Petuah yang terulang ternyata berguna untuk putraku. Aku kini semakin menyadarinya. Bahkan sudah di luar kepala aku mengingatnya.

Semula yang kukira hanya perlakuan berlebihan. Rupanya lebih untuk sebuah kebaikan. Ketika aku benar benar menjadi seorang ibu. Betapa kurasakan begitu berharganya petuah yang terulang. Terimakasih ibu, kau pejuang yang tak mungkin kulupakan.

Niek~
Jogjakarta, 27 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun